Kaulah darahku, juga nadiku. Kaulah nafasku, juga jantungku. Engkau lah hatiku, dan juga jiwaku..
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karena mu. Aku mau, disisa waktuku bersamamu..
Hanya bersamamu..
(Naff-Kaulah Hidup & Matiku)
Aku mendegut ludah. Sekali lagi. Mata ini benar-benar tak berkedip menatapinya, mengagumi ukiran indah mahakarya Sang Pencipta. Beberapa kali aku bertemu dengan kaum hawa. Tapi baru kali ini aku dibuat ternganga oleh pesonanya. Dia..sungguh cantik. Bahkan amat sangat cantik.
Terlalu sinetron mungkin, jika melihat posisi kami sekarang. Aku dan Ia, setengah berjongkok karena harus memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan akibat insiden tabrakan kecil denganku saat kebetulan aku berpapasan dengannya di salah satu sudut sekolah.
Untuk pertama kalinya. Aku melihatnya.
“Umm..sori” lirihnya pelan sembari bangkit. Aku tersadar seketika kala menyadari Ia telah merapikan buku-buku yang berjatuhan tadi. Aku pun turut berdiri.
“Ngga, gue kok yang salah” ucapku seraya tersenyum.
Ia ikut tersenyum. Lalu melanjutkan langkahnya setelah berkata “permisi”
Aku masih terdiam kala itu. Dan, seperti mendapat ilham, dengan cepat aku berbalik dan mencegahnya pergi. “Hei”
Ia berbalik. Bisa kulihat matanya melukiskan sebuah tanda tanya.
“Mmmm…” sedikit ragu. Jujur aku gugup sekali, entah mengapa. Biasanya aku tidak seperti ini jika berhadapan dengan gadis manapun. Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Sepertinya Ia menunggu aku mengeluarkan kalimat berikutnya.
Oke Vin, hapus kegugupanmu! Aku menghela nafas, kuberanikan diri menatapnya. “Siapa namamu ?”
Yeah..! aku menghembuskan nafas lega. Memang pertanyaan singkat. Dan aku tak mengerti mengapa diriku ini begitu gugup hanya untuk melontarkan dua kata didepan gadis yang jaraknya tak lebih dari 2 meter ?
Sesuatu terukir di wajah cantiknya. Senyum itu. “Namaku ? Ashilla. Panggil aku Shilla”
**
Setiap gerakanmu adalah catatan pasti. Kemarin kita bertemu. Hari ini seribu puisi indah memuja kesempurnaanmu, menggelayut dalam memori hatiku. Membekas disetiap helaan nafas, tergurat di tiap degupan jantung.
“Oh, dia Shilla. Siswi pindahan dari Surabaya. Anaknya kalem, lebih seneng di perpustakaan kalo istirahat, pagi pas dia nyampe sekolah, ato pelajaran kosong. Pinter. Udah sih gitu aja info yang gue dapet” tutur Rio, sahabat karibku.
Ya, aku memang menyuruhnya untuk menyelidiki siapa Shilla sebenarnya. Oh, ternyata gadis lugu. Pantas saja kecantikan wajahnya terpatri alami. Tanpa sapuan make up mewah seperti kebanyakan remaja putri di sekolah ini.
Dan itu yang membuatku makin menyukainya, yaitu..kesederhanaannya.
“Usut punya usut, ngapain lo nanya nanya cewe itu ? Aha, jangan-jangan lo naksir ya ?” terka Rio. Aku tersenyum. “Terus kenapa kalo gue naksir ? ga boleh ?”
Mati-matian aku menahan tawa melihat ekspresi Rio yang seakan baru menelan bola kasti. Matanya yang sudah besar, dipelototkan sedemikian rupa hingga nampak akan keluar. Mulutnya menganga. Tak mau membahayakan jiwa karibku (kalau-kalau ada lalat atau binatang sayap terbang memasuki liang mulut Rio) segera kutepuk pundaknya.
“Hei, biasa aja kali reaksi lo” ledekku. Rio sudah menormalkan kembali mukanya. Hanya saja masih terlihat..cengok. “Serius Vin ?”
“Iyalah! Pernah denger kan istilah..Love at first sight ?” tanyaku.
Rio mengangguk. “Cinta pada pandangan pertama ? hei, setau gue lo bukan penganut itu”
“entahlah, tapi ini beda Yo”
Dimana letak kelucuan pada ucapanku hingga Rio tertawa terbahak-bahak. Aku meliriknya tajam. Menyampaikan kalimat ‘kenapa tertawa ?’ melalui lirikanku. Syukurlah Rio mengerti. Ikatan batin kami memang cukup kuat setelah 10 tahun bersahabat ._.
“Sebenernya sih, gue rada ga percaya Vin. Secara kan..Alvin Jonathan itu playboy. Yang saban minggu genti cewe. itu yang pertama. Yang kedua, dari seluruh daftar mantan-mantan lo, gue menyimpulkan bahwa criteria lo itu cewe yang modis, gaul, menor, seksi, tajir, dan popular. Jauh banget dari si..siapa itu ?”
“Shilla” selaku.
“Lah iya Shilla. Yang ketiga, lo ngga pernah melibatkan cinta dalam pacaran. Jadi..gue rada mikir mikir aja, jangan-jangan lo mo jadiin Shilla korban lo juga ?”
Aku memandangnya sewot. Seenaknya saja menuduh. “Yee nggaklah. Gue serius”
“Tapi gue tetep gak yakin Shilla bisa percaya sama playboy cap gentong kaya lo”
Ucapan Rio tak ubahnya seperti tantangan yang berseru nyaring dalam diriku. Membakar semangatku untuk membuktikan pada karibku ini bahwa aku serius dengan kata-kataku.
“Lo jadi saksi ya Yo, gue bakal buktiin ke lo dan semua..kalo cintalah pemeran utama dalam hubungan gue sama Shilla. Dan gue bakal dapetin kepercayaannya dia!”
**
Pesonamu telah menguras habis cintaku. Menjadikanmu satu-satunya yang tinggal di singgasana hatiku.
Disini aku berdiri. Disebuah ruangan (yang luasnya kira-kira setengah dari Aula) yang dimana-mana dipenuhi dengan buku. Ya, perpustakaan. Kulirik jam ditanganku. Pukul 06.13. masih terlalu pagi memang. Dan aku sengaja berangkat lebih awal. Kamu pasti tau kan alasannya ?
Ya, Shilla.
Untunglah Mang Udin, penjaga sekolah bersedia membukakan pintu perpustakaan lebih awal 2 menit dari waktu sebenarnya.
Ku edarkan pandangan menyapu ruangan ini. Ruangan yang bahkan selama hampir 3 tahun di SMA tak pernah aku sambangi. Aku bergidik, rada mistis juga berada didalam ruangan itu seorang diri. Rasa-rasanya seperti ada seseorang yang mengawasiku dari balik rak buku.
Ah apa-apan aku ini, cukup ber-imajinasi yang bukan-bukan. Oke aku akui, jika bukan karena Shilla, tak akan kulakukan pengorbanan seperti ini. Ini semata-mata hanya untuk mendapatka…
Kreeek.
Pintu perpustakaan terbuka, dan aku melihatnya. Melihatnya yang juga tengah melihatku. Mata kami bertemu dan kurasa, aku nyaman berada dalam ‘matanya’.
“Ehm, kamu ?” pekiknya, memecah keneningan dalam ruangan ini. Nampaknya Ia keheranan melihat ada makhluk lain dalam perpus sepagi ini.
“Iya, hehe” garing. Kalimat itu meluncur begitu saja. Entahlah, aku seperti kehilangan kata-kata begitu Ia ada didekatku. Biasanya tak seperti ini.
Ucapanku ditimpalinya dengan senyuman. Sederhana tapi mampu membuat jantungku berdegup 2 kali lebih cepat. Gadis itu melangkah ke salah satu rak. Memilah milih buku. Setelah dapat, Ia mendudukkan dirinya pada kursi diujung. Selisih 4 kursi dari kursi yang kududuki.
Hening. Itulah yang mengepung kami sekarang. Untuk kali pertama, aku kehabisan kata-kata didepan seorang gadis.
Terlintas ide yang ‘tak biasa’ dalam benakku. Meski rada aneh, tapi kuyakin ini berhasil. Aku berdiri untuk berpindah ke kursi yang lebih dekat dengan letak kursinya. Hanya 2 kursi yang menjadi jarak kami. Ia sempat melirikku saat aku bangkit, setelah itu perhatiannya kembali terpusat pada buku yang Ia baca.
Aku merogoh tas. Menyobek buku dengan tak kentara, lalu mengambil pulpen. Tak usah diberitahu, kamupun akan tau sendiri apa yang kulakukan dengan kedua benda tersebut. Yap. Menulis pesan.
Hei, bolehkah aku mendengar suaramu (lagi) ?
Aku Alvin dan aku ingin menjadi temanmu J
Lalu kusodorkan kertas itu ke Shilla. Bisa kulihat senyum khasnya mengembang tipis. Tak lama, Ia menyodorkan kertas itu kembali padaku.
Aneh, buat apa Shilla mengembalikan kertas itu jika tak ada sepatah katapun yang Ia tulis ? keningku berkerut. Dalam keadaan seperti itu, ku angkat kepalaku. Tepat memandangnya yang juga tengah memandangku.
Gadis itu tersenyum kala berkata “Kita teman”
**
Aku masih seperti hari kemarin. Dilibat rindu tak berkesudahan. Bayanganmu tetap saja menjadi pesona yang tak lelah kujamah dalam gundahku.
Aku mengetuk-ngetukkan kakiku ke lantai, petanda aku bosan. Bosan menunggu. Tapi tak bosan menungguinya. Perlu kau tau, sejak peristiwa di perpustakaan kemarin, aku makin giat mendekati Shilla. Hampir tiap waktu kosong aku luangkan untuk pergi ke perpustakaan. Untuk bertemu dengannya. Untuk menatapi pahatan sempurna di wajahnya. Untuk membiarkan diriku tenggelam dalam sapuan teduh mata beningnya. Untuk membuatku nyaman melihat senyum yang diurai lewat bibir tipisnya.
Dan kini, aku berdiri didepan kelasnya. Sepulang sekolah. Sudah sekitar 10 menit aku bertahan pada posisiku. Sengaja menungguinya yang tengah menjalankan tugas piket. Ia memang istimewa. Disaat semua siswa bahkan tak peduli dengan piket, Ia malah melakukan yang sebaliknya.
“Loh, kamu disini ? sejak kapan ?” pekiknya heran. Begitu melihat penampakanku didepan kelas. Rupanya Ia sudah selesai.
Aku tersenyum. “Sejak tadi”
“Oh, mau main basket ya ?” Shilla menoleh sekilas ke lapangan basket yang memang terletak tepat didepan kelasnya. “Tapi kok sepi ?” sambungnya.
Yaiyalah! Jelas saja sepi, aku membatin.
“Eh aku pulang dulu ya” pamitnya sebelum menunggu jawaban dariku, Ia berjalan melewatiku begitu saja. Tak mau membuat penantianku (selama 10 menit) sia-sia, segera kupanggil dia. “eng..Shill, aku..eee..aku mau ngajak kamu pulang bareng. Mau kan ?”
Shilla berbalik, rada tercengang. “Ngga ah, ngerepotin. Aku biasa pulang sendiri kok”
Ffuh, rada putus asa. Tapi Alvin tak boleh menyerah. “Ayolah Shill..temanmu ini pengen liat rumahmu” bujukku. Kami berjalan bersama secara beriringan.
“Haha Alvin Alvin, buat apa liat rumahku ? rumahku itu hanya rumah sederhana. Bukan rumah mewah layaknya istana kayak rumahmu” timpal Shilla.
Sial, aku salah menggunakan kata. Seharusnya kata ‘lihat’ kuganti dengan kata ‘tahu’.
“Oke, maksudnya aku pengen tau rumahmu. Ngga salahkan ?” Shilla menghentikan langkahnya sebentar, lalu menoleh padaku sebelum melanjutkan kembali langkahnya dan tersenyum.
“Untuk sekali ini aja ya” ceplosnya. Nyaris ku meninju udara karena senangnya.
**
CR-V silver ku berhenti tepat di depan rumah sederhana yang bukan terletak di perumahan mewah. Hanya di pemukiman penduduk. Rumah yang ber-cat krem itu menunjukkan suasana klasik yang menenangkan. Tak mewah memang, namun bersih. Bisa dilihat dari terasnya. Bagian depannya saja sudah sebersih ini bagaimana dalamnya ? batinku.
“Duduk sini bentar ya. Aku panggilkan ibuku dulu” Shilla mempersilakanku duduk di kursi beranda. Perlu kau tau, sebenarnya niatku hanya untuk mengantarnya. Tapi begitu sampai dan melihat rumahnya, (sedikit ngelunjak) aku mulai memaksa Shilla untuk mampir sebentar. Dan yaaah, Shilla pun menyetujuinya.
Dan saat kami melangkah bersamaan menuju beranda, Shilla bercerita bahwa aku adalah teman pertama yang berkunjung ke rumahnya setelah kepindahannya di ibukota. Shilla juga bercerita bahwa sudah menjadi kebiasaan Ia mengenalkan teman-temannya pada sang Ibunda. Itu pula yang akan Ia lakukan padaku. Mengenalkanku didepan ibunya sebagai ‘teman’.
Yang kuharap suatu saat, aku kembali kesini dan dikenalkan dihadapan ibunya sebagai ‘pacar’.
“Vin, kenalin ini ibuku. Ibu, ini Alvin” teguran Shilla membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dan menyalami tangan wanita paruh baya berwajah ramah tersebut.
“Oh ini nak Alvin, yang sering kamu ceritakan itu Shilla ?” ibunya menceplos. Membuat mata Shilla 2x lebih bulat dari biasanya. “Psst, ibu apa-apaan sih” elaknya malu.
Aku hanya tersenyum. Sedikit GR boleh kan ?
“Hehe pake malu-malu lagi. Udah sana bikin minum” suruh wanita itu. Shilla dengan wajah yang masih cemberut, bergegas ke dapur. Tinggalah aku dan ibunda Shilla.
Wanita itu menghela nafas berat. “Nak Alvin, makasih ya sudah mau menjadi temannya Shilla. Sejak dulu putri Ibu ini memang pemalu. Apalagi sejak mengikuti bapaknya dipindah tugas kesini. Walah, sudah pasti Shilla merasa minder dengan pergaulan di kota besar. Maka dari itu nak Alvin, ibu minta tolong ya jaga Shilla. Memang susah mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjaga putri ibu”
Alisku terangkat satu. Orang yang dipercaya ?. “Umm..maaf bu, tapi kenapa ibu mempercayakan putri ibu ke saya ? bukannya saya juga baru mengenal ibu hari ini ?”
Ibunda Shilla tersenyum. “Entahlah nak Alvin, rasa-rasanya ibu sudah mengenalmu lama. Sehingga kepercayaan itu menancap kuat pada dirimu. Atau..kamu ndak mau menjaga putri ibu ? setidaknya jaga dia sebagai teman barumu pun tidak apa-apa”
“eh bukan Bu, bukan. Saya menghargai sekali kepercayaan yang sudah ibu kasih ke saya. Saya janji akan jaga Shilla selama disini” janjiku.
Begitu mengucap janji itu, aku merinding. Entahlah, arah percakapan kami memang sudah terlalu jauh. Jujur aku masih heran. Kenapa dengan mudahnya seorang Ibu mempercayakan anak gadisnya pada lelaki yang kurang dari sejam dikenalnya ?
Tapi toh, aku tak berniat jahat pada Shilla. Aku akan menjaganya. Bahkan melebihi aku menjaga diriku sendiri.
Karena aku mencintainya..
**
Berbulan-bulan, kubertahan dengan menikmati apapun yang menjadi luapan hati. Mencari-cari sedalam apa rindu ini menjadi nyata, untukmu.
Aku menuliskan pesan diatas saat kami sedang duduk berjarak 3 kursi di perpustakaan (sejak itu aku mulai mengambil kesimpulan bahwa tempat favorit sekaligus tempat bersejarah aku dengannya adalah perpustakaan).
Beberapa waktu kemudian Shilla mengembalikan kertas tersebut. Berbeda dengan waktu dulu, kali ini Ia selipkan kata-kata balasan yang membuat aliran darahku melaju tak normal.
Jarak yang menyekat, tak berarti apa-apa kala hati sudah bicara tentangku, tentangmu. Semua akan menyatu dengan sendirinya.
Otakku berfikir keras, mencoba menghapalkan kata-kata puitis dalam buku ‘kumpulan 1000 puisi cinta’ yang berhasil kutemukan di loteng. Aha, aku dapat.
Apalagi yang bisa kuraba saat kita bertemu ? selain sejuknya matamu, renyahnya tawamu. Aku menantimu.
Ku sodorkan kertas itu. Menanti balasan dari sosok itu. Tak lama, kertas itupun datang.
Aku..belum mengerti
Ku perjelas perasaanku lewat kata-kata indah.
Wajahmu selalu menghantui malam-malamku. Aku ingin kamu ada dalam kesepianku dan keputusasaanku. Semua adalah nyata. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Dan aku percaya, takdir tak dapat berdusta. Bagaimana denganmu ?
Kau boleh menganggapku gombal. Tapi tidak, karena apa yang kutulis benar-benar ungkapan perasaanku padanya. Seutuhnya tanpa dilebih-lebihkan.
Shilla masih memegangi pulpennya. Tampaknya Ia bingung mau menjawab apa. Seumur-umur aku belum pernah ditolak. Tapi yaah, jika nantinya aku ditolak, mungkin sosok Shilla tak akan pernah kulupakan.
Krriiing..Krriiing..
Oh shit! Bel masuk bordering disaat yang kurang tepat. Bisa kulihat Shilla bangkit dari duduknya sambil membawa kertas tadi.
“Balasannya aku tulis nanti sepulang sekolah, ok ?” Shilla mengadakan kesepakatan. Mau tak mau aku mengangguk. Daaaaan, itu artinya dia memaksaku menahan nafas selama hampir 2 jam sebelum bel pulang berdering.
**
Leherku terjulur-julur layaknya jerapah, mata sipitku menyapu keseluruh penjuru. Sosok yang kucari tak terlihat. Padahal sudah sejak 2 jam yang lalu aku menungguinya. Menantikan saat-saat ini. Ah, nyaris saja aku emosi sendiri saat tiba-tiba datang seorang perempuan –entahsiapa-yang menghampiriku sembari menyerahkan secarik kertas.
“Dari Shilla. Tadi dia pulang duluan, katanya perutnya sakit” terang gadis itu. Senyumku merekah begitu mendengar kertas itu dari Shilla. Setelah mengucap terimakasih, segera kubuka kertas pesan itu.
Aku masih dililit tanya tentang cintamu. Sampai datang bayangmu yang membuyarkan keraguanku. Aku menunggu kejujuran hatimu. Maaf, aku tak butuh janji. Aku butuh bukti. Jika pengakuan hatimu benar adanya, datanglah sore ini. Dan bernyanyilah lagu cinta. Didepanku J
**
Lengkap dengan gitar. Jam 4 sore ini aku sampai didepan teras rumah Shilla. Bersiap membuktikan didepannya. Menjawab tantangannya.
Kutuliskan pesan singkat untuknya. Bertuliskan : ‘Keluar, dan kamu akan tau kalau aku bukan pembual’
Tak lama, pintu terbuka. tepat! Kupetik gitar saat melihatnya muncul dari balik pintu.
Kaulah darahku, juga nadiku
Kaulah nafasku, juga jantungku
Engkaulah hatiku, dan juga jiwaku
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karenamu..
Aku mau disisa waktuku, bersamamu..
Hanya bersamamu..
Kaulah senyumku, juga tawaku
Kaulah damaiku, juga bahagiaku
Engkaulah teduhku, tempatku bernaung
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karenamu..
Aku mau disisa waktuku, bersamamu..
Hanya bersamamu..
Aku tak menyelesaikan lagu itu karena Shilla memelukku erat. Tak ada kata yang terlontar dari bibirnya. Hanya saja, setengah menit setelah aku sampai di rumah, ponselku berdering.
Sender : Ashillove
Jika ini sudah takdirnya, aku akan berjalan disisimu.
Tanpa ragu. Karena aku percaya, cintamu bukan sandiwara.
Genggamlah tanganku, aku memilihmu J
Yeah!! Ku banting tubuhku ke ranjang. Rasa-rasanya aku ingin meledak saking senangnya. Penantianku tak sia-sia. Ku dekap ponsel yang masih memampangkan pesan singkatnya. Kubiarkan keindahan itu ikut melayang bersamaku ke alam mimpi karena aku tertidur setelah itu.
**
Cinta bersambut, bukan akhir dari kisahku. Karena akupun menyadari, Romeo & Juliet yang saling mencintaipun harus menghadapi rintangan yang datang dari berbagai pihak. Jalan didepan lurus, tak ada belokan, memang. Namun, masih ada kerikil kerikil yang siap menggoyahkan perjalananku dengannya..nanti.
“Apa ? lo jadian sama Shilla ? wuihh gila Alvin mamen, lo emang don juan! Cewe manapun bisa takluk sama lo!” puji Rio suatu hari kala aku bicara dengannya di kelas. Memberitahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan gadis itu.
Saat itu masih pagi. Dikelas hanya ada aku, Rio, dan beberapa siswa lain yang segan untuk mendengarkan pembicaraan kami, jadi mereka lebih memilih keluar. Jadilah dikelas hanya ada aku dan karibku.
“Yoi, tuhkan gue bilang juga apa! Cewe manapun, bisa gue dapetin. Dan dalam waktu..ngga lama, gue bisa buktiin kan ke lo. Gue dapet kepercayaannya Shilla. Dan karena lo udah kalah, lo harus traktir gue!” paksaku. Rio tak menanggapi, aneh sekali. Biasanya jika aku meminta traktir, dia pasti akan menoyor kepalaku.
Tapi ini beda, Rio malah memandang kearah lain. Kearah pintu. Karena aku duduk membelakangi pintu, aku tak tahu Rio menatap apa/siapa.
“Vin, dia..” Rio menunjuk arah yang ditatapnya. Aku menoleh. Shilla, tengah berdiri di ambang pintu. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi padanya-selanjutnya-karena Ia lebih dulu melarikan diri. Aku masih diam. Bimbang.
“Vin, lo ngga kejar Shilla ?” Rio berkoar. Aku makin bingung. “emang kenapa gue harus kejar ?”
Rio menepuk jidatnya frustasi. “Bego, dia denger percakapan kita dan pasti beranggapan kalo lo jadiin dia taruhan sama gue”
Aku mencerna betul kata-kata Rio, sekaligus mengingat-ingat percakapanku tadi. Memang, terlintas seperti baru memenangkan taruhan. Oh tidak, aku tak mau membuat Shilla menangis apalagi sampai melukai hatinya.
Aku pun berlari menyusulnya. Tepat dugaanku, Ia berada di perpus. Oleh karena perpustakaan masih terlalu pagi sehingga Bu Laela-penjaga perpus-belum datang, aku bisa berbicara dengan Shilla ditempat itu.
“Gausah, aku pikir kamu tulus. Tapi ternyata semua palsu ? aku udah denger tentang kamu yang konon katanya playboy. Apa yang kulihat dan kudengar tadi, cukup buat kepercayaanku hilang ke kamu. Salah dugaanku kalo kamu udah berubah. Salah!” jelas Shilla.
Ck, sialnya disaat seperti ini aku malah justru kehilangan kata-kata. Oke Shilla, daripada aku terus membiarkanmu begini dalam kesalahpahaman, lebih baik kupanggil satu-satunya saksi, Rio.
“..gitu Shill ceritanya. Sumpah pocong berani dah gue kalo lo tetep ga percaya. Gue cerita apa adanya, ga dilebih-lebihin apalagi dikurang-kurangin. Gue sama Alvin udah sahabatan dari orok. Gue kenal Alvin luar-dalem. Begitu sebaliknya. Pliis Shill, percaya sama Alvin ya. Kalo ngga Alvin bakal gantung gue gara-gara udah bikin lo putus sama dia. Percaya deh Shill, Alvin beneran udah cinta mati banget sama lo”
Mati-matian aku menahan tawa mendengar bujukan Rio. Saat ini aku mencuri dengar dari kelas Shilla. Rio mengajaknya ngobrol di kelas Shilla pada saat jam pulang sekolah. Ya Tuhan, moga saja Shilla percaya dengan ucapan Rio.
“Beneran ? ngga boong ?” aku bisa mendengar suara Shilla.
“Busung deh! Samber gledek” dan aku bisa mendengar Shilla tertawa.
“Ya ya aku percaya” timpal Shilla pada akhirnya.
“Jadi, itu artinya lo udah maafin Alvin ?” tanya Rio. Jantungku berdegup cepat. Takut-takut kalo misalnya Shilla tak mempercayaiku lagi.
“Iya, aku maafin dia” yeaaaah!! Aku bersorak dalam hati.
“Ffuh gitu kek dari tadi. Untung aja gue berhasil buat lo baikan sama Alvin. Kalo gak, beuh udah ditindas gue sama Alvin” sungut Rio. Aaarrrgh Riooo…lo emang karib gue paling setia, paling sejati!! Tengkyuuuu Bro !! gue utang budi sama lo J
**
Jika sebelumnya aku melayang kala melihatnya mengurai tawa, kini apa yang kulakukan jika Ia datang ke hadapanku dengan berhias Kristal bening di wajahnya ? mungkin, akan kusewakan bahuku untuknya. Sebagai tempat bersandar. Aku tak akan mengucap kata palsu untuk menghilangkan dukanya. Aku akan..ikut menangis bersamanya
“Alvin…” desisnya pelan. Bimbang jika dalam situasi seperti ini. Aku yakin Shilla sudah tak mampu lagi menopang badannya. Oleh karena itu aku menuntunnya untuk duduk di kursi yang terletak didepan ICU.
“Gimana kalo bapak sama Ibu ngga selamet ?” aku menoleh, memandang petaan duka yang tergambar jelas pada wajah ayu nya. Aku belum pernah melihatnya selemah ini. Tess, linangan airmatanya jatuh dan menetes ke punggung tanganku yang tengah menggenggam tangannya. Tidak, tidak akan kubiarkan Ia menangis. Kuputuskan untuk menaruh kepalanya di bahuku. Kudekap dia, berharap dengan demikian, aku bisa menstransfer ketegaran dalam dirinya.
Dugaanku salah, karena tangisnya bertambah deras. Aku memahami betul kondisinya. Siapa yang tidak khawatir jika orang tua berada di dalam ruang ICU untuk melawan maut ?
Kejadiannya tak kurang dari 10 jam yang lalu. Saat bapak & Ibu gadisku berpamitan untuk berkunjung ke Surabaya, menengok nenek Shilla yang kabarnya tengah sakit keras. Aku turut mengantar mereka menggunakan mobilku menuju terminal.
Tapi naas, karena 3 jam setelah keberangkatan, Bus yang ditumpangi mengalami kecelakaan beruntun. Menyebabkan Bus terguling. Dan semua berakhir disini, di rumah sakit. Lebih tepatnya, di ruang ICU.
Shilla mulai tenang. Kemudian dokter keluar dari ruangan itu. Membuat kami dengan cepat berdiri guna mengetahui kabar tentang ayah & ibu Shilla.
“Gimana dok keadaan Ayah sama Ibu saya ?” tanya Shilla. Aku bisa merasakan badannya yang bergetar.
Dokter tersebut menatap Shilla dan aku secara bergantian. Beliau menghela nafas berat. Sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Siapapun tahu bahwa itu jawaban terburuk.
Sedetik setelah itu, aku melihat Shilla yang sangat rapuh.
**
Aku berikrar dalam hati. Mengingat segala janji yang pernah terucap. Bahwa kebahagiaanmu adalah segalanya. Tak apa jika harus merantai nyawa, asalkan aku bisa mengembalikan senyummu, sama seperti dulu.
Aku baru ingat, perihal percakapan pertama antara Ibunda Shilla denganku dulu. Kenapa Beliau langsung mempercayakanku untuk menjaga putrinya ? aku mulai mengerti sekarang. Ternyata itu bukan hanya sekedar permintaan. Tetapi amanat. Amanat sebelum beliau pergi. Sekalipun aku tak pernah berharap akhirnya begini, tapi aku berjanji. Berjanji atas nama diriku sendiri.
Aku akan menjaganya, sepenuh hatiku. Segenap jiwaku. Dan seluruh ragaku.
Tanahnya masih merah. Bunga-bunga yang ditabur diatasnya pun masih segar. makam tersebut masih basah. Jelas saja, karena baru sejam yang lalu pemakaman berlangsung.
Para pelayat sudah pulang. Semua. Tak ada siapapun sejauh mata memandang. Hanya ada aku, dan Shilla. Rio pulang 5 menit yang lalu.
“Vin, kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku ngga papa kok sendirian disini” tutur Shilla dalam tangisnya.
“Ngga, aku akan terus disini temenin kamu. Sekalipun itu bakal sehari semalem” jawabku. Tak ada sedikitpun niatku meninggalkannya sendiri. Terlebih disaat kondisinya sedang labil seperti sekarang. Seharian ini Shilla belum makan. Aku dan beberapa kerabatnya sudah membujuknya berkali-kali. Tapi duka dan kesedihan telah memenangkan ego gadis itu.
“Vin, kalo ngga ada Bapak sama Ibu, aku hidup sama siapa ? aku sendirian Vin. Aku ngga mungkin hidup disini sendiri. Mungkin aku bakal pulang ke Surabaya, tinggal sama nenek” ungkapnya. Membuatku tercengang.
Tidak, aku tak boleh membiarkannya pergi. Terdengar egois mungkin. Tapi bagaimana bisa aku menjaganya jika Ia terlalu jauh dalam pandanganku ?
“Ssst, kamu ngga boleh bicara begitu. Kan disini masih ada aku. Masih ada Rio yang siap bantu kita. Bantu kamu. Kita semua disini ada untuk kamu” tuturku sembari merekatkan genggamanku pada tangannya.
Ia menoleh. “Tapi itu bakal ngerepotin kamu sama Rio. Kalian punya kehidupan sendiri. Apalagi kurang dari sebulan ini UAN dateng. Percayalah Vin, aku hanya akan jadi beban buat kamu”
“Plis jangan ngomong begitu. Oke, masalah kepindahan dan segalanya kita bicarain nanti setelah lulus. Yah ?” bujukku. Shilla mengangguk. Aku menyeka airmata yang mengalir dari mata beningnya. Sekali lagi, aku membiarkan bahuku menjadi tempatnya bersandar.
Aku berharap, ini untuk terakhir kalinya bahuku menjadi tempatnya menangis.
**
Kami lulus dengan nilai memuaskan. Aku berhasil mengembalikan cahaya semangat dalam diri gadis itu. Namun Shilla masih berkeinginan untuk pulang kampung. Alasannya masih sama. Yaitu tak punya siapa-siapa di Jakarta.
“Kalo di Surabaya kan aku ada nenek, ada paman dan bibik. Mereka keluargaku Vin. Dan aku nyaman kalo tinggal sama keluargaku” ucapnya suatu hari, saat aku mengungkit masalah kepindahannya.
Perkataannya tentang keluarga, membuat sel-sel otakku terangsang untuk membuat satu ide. Ide agar Shilla mengurungkan niatnya pergi. Ide supaya aku bisa terus mengawasinya dalam pandanganku. Untuk menjaganya..
**
Mata beningnya memandang tiap-tiap pepohonan yang kami lewati dari balik kaca mobil. Hari ini, sebelum senja aku mengajaknya ke puncak. Ada yang ingin aku utarakan padanya, ditempat yang tak biasa.
“Kita mo kemana sih Vin ?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum jahil. “Ada aja. Ntar juga kamu tau”
Shilla mengerucutkan bibirnya. Memaksaku mencubit pipinya lembut karena gemas.
Beberapa waktu kemudian.
Aku menghentikan mobilku didepan Villa milik keluargaku. Aku tak merancang makan malam romantis di restoran mewah. Sederhana saja, bukan karena gadisku ini tidak pantas mendapat perlakuan mewah. Tapi sederhana karena sesuai dengan pelambangan dirinya yang juga sederhana.
“Nah udah sampai. Tutup mata kamu” suruhku. Shilla menurut saja walau sempat terucap kalimat protes. Pelan-pelan, aku menuntunnya keluar mobil. Menuntunnya memasuki Villa yang gelap tanpa lampu.
Tepat didepan pintu, aku menyuruh Shilla membuka mata. “Buka mata kamu”
Shilla membuka matanya, dan terpesona melihat ratusan lilin yang disusun membentuk jalan setepak. Menuju tangga.
“Ini..ini semua…”
“Yeah, special for you” bisikku. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Andai kamu tau, ini bukanlah kejutan yang sebenarnya.
“Keatas yuk” ajakku. Ketika sampai di balkon (yang sudah kuhias juga dengan ratusan lilin membentuk jantung hati) Shilla makin terpesona. Tepat! Senja datang. Goresan ‘pena’tak kasat mata yang mengubah langit biru menjadi warna jingga.
Tanpa kentara, tanganku bergerak mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Yang akan menjadi kejutan sebenarnya untuk Shilla. Kusembunyikan benda itu sebelum terlihat olehnya.
“Shill..” panggilku. Ia menoleh. “Ya”
“Jejakmu telah sampai di hari baru. Lupakan segala duka yang pernah tergores. Gantikan dengan semangat. Happy birthday”
Shilla terbelalak. “Kamu inget ulang tahun aku ?”
“Iyalah. Dan karna hari ini adalah hari special..” Aku mengeluarkan benda tersebut dari balik punggungku. Lalu berlutut dihadapannya.
“Would you marry me ?” pintaku. Shilla menangis. Aku lihat itu. Aku lihat pancaran kebahagiaan dari matanya.
Ia tersenyum. Senyum yang tak pernah bisa kulupakan dalam hidupku.
“Aku ngga akan tega nolak kamu..”
**
Aku berhasil membawanya masuk kedalam keluargaku. Menjadi bagian dari kami. Begitu pula sebaliknya. Kata ‘keluarga’ membuatnya bertahan untuk tetap tinggal bersamaku. Ia benar-benar mengurungkan niatnya pulang ke kampung halamannya.
Sekarang, tidak ada kalimat ‘aku tak punya siapa-siapa’ yang keluar dari bibirnya. Karena Ia tahu, Shilla punya aku dan keluargaku yang siap menerima apa adanya.
“Kamu selalu menghadirkan getar-getar indah yang kuiba menjadi bahagia. Di setiap pagi dan di setiap tarian debu dan tetes embun yang menyentuh dedaunan. Ehm, udah pagi, bangun Shill. Kita kan ada janji ke rumah Om Edi buat silaturahmi” tegurku lembut.
Shilla menggeliat. Lalu membuka matanya. “Oh iya lupa. Yaudah aku siap-siap dulu”
“Jangan lupa mandi, ntar Cuma cuci muka doang lagi. Kayak biasanya” celaku. Shilla meninju bahuku pelan. “Enak aja. Kamu tuh yang jarang mandi”
Aku tertawa bersamanya. Harapanku saat ini, agar Tuhan tak merenggut kebahagiaan ini. Aku senang, karena ikatan suci kami dapat bertahan sampai pada bulan ke-8. Tepat hari ini.
**
Pagi itu kami menuju Villa Om Edi (Om Edi merupakan adik bungsu Papi) terletak di puncak. Karena musim liburan, Om Edi dan keluarganya menempati Villa mereka, biasalah alasan refreshing.
Jalan menuju puncak basah dan licin akibat guyuran hujan sekitar setengah jam yang lalu. Sekarang hanya tersisa rintik-rintik gerimis. Tak biasanya pagi ini mendung.
“Vin, pelan-pelan dong bawa mobilnya” Shilla mengingatkan. Aku hanya tersenyum. Kuturuti keinginannya. Aku menurunkan kecepatan mobil. Tanganku menggenggam tangan kanannya
.Detik, menit kedua, ketiga. Dan memasuki menit keempat segalanya mulai terasa tak wajar. Kala kulihat sebuah Truk bermuatan muncul tiba-tiba dari arah berlawanan dengan kecepatan yang tak biasa. Terjepit, aku bingung. Bingung.
Kuputar stir. Aku bisa merasakan mobilku terbalik. Bisa kurasakan tangan Shilla mengganggam tanganku begitu kencang. Bisa kudengar teriakan panjangnya. Dan, bisa kulihat pintu kematian terbuka didepan kami.
**
Ketika bahagia bersemu, ada kalanya kesedihan datang mengusik. Menabur tetes duka yang menyayatmu. Tak masalah jika Yang Kuasa mengambil fisiknya, asal jangan jiwanya..
“Kecelakaan itu mengakibatkan bayinya meninggal” ucap dokter. Aku terperanjat. “Bayi ?”
Dokter tersebut mengangguk. “Dari hasil pemeriksaan, kami lihat usia kandungan pasien memasuki umur 2 minggu. Oleh karena usia yang sangat rentan, bayinya meninggal dalam rahim saat terjadi benturan. Ditambah kondisi kejiwaan pasien yang nampaknya masih shock. Perlu anda ketahui, kecelakaan itu sangat parah. Anda beruntung karena saat mobil terlempar ke jurang, Anda terlempar keluar. Tapi istri Anda ? 80% kecelakaan itu berdampak padanya”
Jantungku mulai berdegup tak normal. “Dampaknya apa saja dok ?”
“Pasien mengalami benturan yang cukup keras. Tepat pada rahim dan saraf tulang belakang pada leher. Akibat pertama, benturan pada rahim ditambah traumatic dan juga keguguran dalam usia dini menyebabkan pasien memiliki kemungkinan kecil untuk punya anak lagi” jelas dokter.
Aku tak tau apakah aku masih mampu mendengarkan akibat yang kedua ? setelah akibat pertama sungguh menyakitkan ? tapi tak apa. Yang terpenting aku bisa terus bersamanya
“Lalu, yang kedua apa dok ?” tanyaku datar.
“Pasien mengalami kelumpuhan yang istilah medisnya sering disebut Quadriplegia. Yaitu kelumpuhan disebabkan oleh penyakit atau cedera pada bagian saraf tulang belakang bagian leher , Kerusakan pada otak atau syaraf yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh penggunaan semua anggota badan dan dada. Intinya, penderita mengalami kelumpuhan dari leher sampai kebawah” terang dokter. Tubuhku membeku.
“Dalam beberapa kasus, penderita Quadriplegia bisa disembuhkan melalui terapi. Akan tetapi tergantung saraf yang rusak itu. tetap harus bersabar ya…” ungkap sang dokter.
Kakiku bergetar saat mendengar vonis dokter. Yang mengatakan bahwa Shilla..Ah, aku tak mampu mengingat semua itu.
Percuma saja, sekeras apapun usahaku untuk mengabaikan, saraf-saraf otakku terus mengingat vonis dokter tadi. Ucapan Pria berjas putih yang terus bergaung di telingaku.
Aku menyesal. Sungguh menyesal. Kalau tau akibatnya akan seperti ini, tidak akan pernah aku bawa Shilla ke puncak. Ah, tapi siapa manusia yang bisa melawan takdir ? aku yakin Shilla pasti akan sangat shock mendengar 2 kabar yang begitu menyakitkan ini.
Tuhan, kuatkanlah Ia..
**
Sesakit apapun luka menyayat hatimu, ijinkan aku untuk menjadi satu-satunya lelaki yang membalutnya. Lupakan semua cela yang ada padamu. Karena perlu kau tahu, kau terlalu sempurna dimataku hingga segala cacat celamu tak terlihat J
Shilla jauh lebih tegar dari apa yang kubayangkan. Ia hanya menangis sekali saat aku memberi tahu padanya efek akibat kecelakaan itu.
“Vin..” panggilnya lirih saat aku mengajaknya ke taman rumah sakit. Aku menimpali. “Ya ?”
“Kamu boleh kok ninggalin aku. Kamu boleh kok cari cewe lain yang lebih dari aku. Kamu pantes dapetin itu” tutur Shilla. Aku tercengang. “Tarik kata-katamu, aku ngga akan pernah ninggalin kamu untuk alesan apapun. Kamu lupa Shill ? aku udah pernah janji sama ibu kamu untuk menjaga kamu. Kamu ngga mau kan aku dipandang pecundang sama Ibu kamu ?”
Shilla tersenyum getir. “Tapi ini kan aku yang nyuruh. Demi kebahagiaan kamu”
Aku tertawa, tertawa masam. “Bahagia ? pikiran kamu itu pendek ya. Letak kebahagiaan aku Cuma pada kamu. Ngga ada dan ngga akan ada penggantinya”
Senyum getir itu hilang. Digantikan oleh raut sedih yang membuat matanya berkaca-kaca. “Tapi aku lumpuh Vin. Gabisa kasih kamu keturunan juga. Aku ngga berguna, Cuma bisa nyusahin. Kelumpuhanku itu parah Vin, aku ngga bisa ngelakuin apa-apa tanpa bantuan orang lain, aku gak bis…”
“Sssttt..” Aku menaruh telunjukku di bibirnya. Mengisyaratkan supaya diam. “Justru karena kamu ngga bisa ngelakuin apa-apa itulah, yang buat aku untuk bertahan sama kamu. Aku ngga bisa bayangin keadaan kamu tanpa aku. Siapa yang mau ngurus kamu”
Shilla melirik kearah lain. “Aku masih punya nenek di Surabaya Vin. Aku bisa tinggal sama beliau”
“Hei, are you kidding ? kamu inget usia nenek kamu yang sudah renta ? jangan egois Shill, nenek kamu aja butuh bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Jangan tambah bebannya dengan harus mengurusi kamu!” kataku sedikit keras. Aku tak bermaksud membentaknya. Tapi kulihat Ia menangis.
“Maaf Shill, aku ngga bermaksud ngatur hidup kamu. Aku Cuma pengen kamu sadar kalo kamu punya aku. Buat apa aku yang selama ini ada disamping kamu ? kalo kamu pikir aku cinta kamu karena fisik kamu aja, itu salah. Salah besar. Kamu inget Rio pernah bilang ke kamu bahwa aku cinta mati sama kamu ? itu ngga boong. Itu bener. Aku mohon Shill, percayakan diri kamu untuk aku rawat. Aku janji ngga akan ninggalin kamu gimanapun keadaan kamu” terangku.
“Bener ?” aku mengangguk mantap. “Tapi kalo missal kamu jenuh, aku bersedia kapan aja untuk ditinggal” sambungnya. Rada gregetan jika Shilla terus-menerus merendahkan dirinya seperti itu.
“Terserah apa katamu. Kita liat ke depan. Jangan tengok kebelakang ya, kamu tetap Ashilla yang dulu di mata Alvin” Shilla tersenyum. Aku memeluknya erat.
**
Jika Tuhan berkehendak, aku bahkan rela bertukar-posisi dengan Shilla. Untuk menggantikan pedih itu. Aku tak rela melihatnya murung terus diatas kursi roda.
10 hari sudah Shilla keluar dari rumah sakit. Aku yang mengurusinya setiap hari. Aku bahkan rela menunda kuliahku hingga setahun kedepan demi memusatkan perhatianku pada Shilla. Walau Shilla sempat menentang habis-habisan.
“Hei, makan dulu ya cantik” pagi itu aku memecah keheningan. Dengan membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih, beserta obat-obatan. Kusodorkan nampan itu dihadapannya, berharap semangat memancar dari kedua bola bening itu.
“Aku ngga mau makan” tolaknya halus.
Nafasku makin berat. “Ayolah Shill. Ini demi kesehatan kamu. Ga mau buat aku sedih kan ? 5-10 suap aja, terus minum obat. Ya ?”
Shilla tak bergeming. Aku anggap itu persetujuan. Kucoba untuk menyuapkan sesendok bubur. Shilla mau membuka mulutnya. Aku bahagia kala itu.
Rio sering datang ke rumah guna menengok Shilla. Awalnya Rio ikut berduka. Namun aku peringatkan padanya agar tak menunjukkan kesedihan itu didepan Shilla. Rio menurut. Didepan Shilla, Rio amsih sama seperti Rio yang biasanya. Ceria dan selalu melontarkan candaan-candaan yang membuat Shilla melukiskan senyum tipis. Walau tak sampai terbahak-bahak.
“Sudah waktunya tidur” jam 9 malam. Aku mendorong kursi rodanya dari balkon menuju tempat tidur. Aku menggendongnya dan meletakkan Shilla pelan diatas ranjang.
“Makasih untuk segalanya” bisik Shilla. Sebulir Kristal bening mengalir dari sudut matanya. Aku menyekanya sembari tersenyum.
“Apapun untukmu. Karena kamu adalah hidup dan matiku”
Aku mengakhirinya dengan kecupan pada keningnya. Sampai kapapunpun aku berjanji akan menjaga Shilla selamanya.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar