Senin, 08 Agustus 2011

Untuk Yang Terindah -Short Story-




                Pemuda itu menghela nafasnya panjang. Sudah sekitar se-jam yang lalu Ia berada di kamar milik sahabatnya. Kamar yang menyimpan ribuan kenangan indah antara dirinya dengan sang karib. Kamar yang baru saja ditinggal oleh si empunya, 2 hari yang lalu. Untuk selamanya.
Lalu, untuk apa pemuda itu berada disana ? untuk mengenang sahabatnya kah ?
Tidak.

Kepergian sang teman sudah di-ikhlaskannya sejak lalu. Adalah yang menjadi beban pikirannya, mengapa sahabatnya itu begitu bodoh mengakhiri hidupnya dengan cara….yah, kurang wajar. Bodoh, dasar bodoh!!

Pemuda tersebut tak habis pikir, apa alasannya ? jika memang ada masalah, mengapa tak dirundingkan dengannya ? bukankah itu gunanya sahabat ? selalu menyertai dalam suka maupun duka. Atau..se-privat itukah masalahnya ? hingga sahabatnya itu bahkan tak sudi membagi secuil bebannya, dengan dirinya ??

“Gue kira lo pinter. Tapi ternyata, lo cowok paling bego didunia!” umpatnya dalam kesunyian ruangan itu. Pemuda itu mendudukkan dirinya di meja belajar karibnya. Barang-barang milik sahabatnya masih tertata rapi disana.

Menjalin persahabatan lebih dari 10 tahun. Jelas bukan waktu yang sebentar. Sudah cukup Ia mengenal pribadi satu sama lain. Sudah menjadi kebiasaan, apa-apa yang dirasakan salah satu, pasti yang lain akan merasakan. Keduanya sudah seperti saudara kembar.

Tangan sang pemuda terulur meraih sebuah figura. Figura yang terpasang foto dua lelaki tampan yang sama-sama berpakaian basket. Salah satu dari mereka menenteng piala, yang lainnya mengepalkan tangan ke udara. Keduanya saling berangkulan. Ditambah senyum lebar sebagai pemanis. Sungguh, sekilas saja melihat foto itu, sudah bisa menebak seberapa dekat hubungan antara kedua lelaki itu.

Pemuda tersebut memulas senyum. Senyum hampa. 10 tahun biasa Ia lalui bersama dengan karibnya. lalu kini, Ia harus memulai sendiri. Tak ada tempat berbagi. tak ada tahun ke-11 persahabatannya. Kisahnya hanya sampai ditahun ke-10. Saja.

“Kamu udah se-jam yang lalu disini, Kka” tutur seseorang dari arah pintu. Sontak, pemuda itu menoleh.

“Aku Cuma pengen mengenang masa-masa aku sama dia. Bukan aku gak rela dia pergi. Aku Cuma..pengen cari tau kenapa dia bisa sedangkal itu berbuat demikian. Se-jam disini, aku bongkar lemarinya. Lacinya, meja belajarnya. Berharap nemuin alasan atas tingkah lakunya. Tapi..tapi hasilnya nihil. Aku merasa aku gak bisa jadi sahabat yang baik” terang Cakka, frustasi.

Sementara sosok lain itu, hanya diam. Hatinya turut bersedih melihat pemuda itu begitu rapuh. Yah, kehilangan sahabat memang bukan perkara mudah. Apalagi jika dalam tempo selama-lamanya.

“Yaudah lah, Kka. Mungkin memang itu privasinya. Biarkan dia aja yang tau” hibur sosok itu. Cakka menoleh-lagi-. Ada 1 kata yang terselip diantara kalimat yang dilontarkan seorang gadis didepan pintu itu.

Privasi.

Ya! Privasi! Cakka ingat, ingat sesuatu yang berhubungan dengan kata tersebut. Saat sahabatnya berkata, “Setiap kenangan yang membekas dalam otak gue, bakal gue abadikan disebuah kotak. Yang gak gue ijinkan siapapun untuk melihatnya. Biarlah itu jadi privasi gue. hanya gue”

Kotak ??

Bagai mendapat ilham, segera Cakka bangkit lalu menyeret kursi meja belajar kedepan lemari. Pemuda tersebut menaikinya. Lalu detik selanjutnya, Ia nampak mencari-cari sesuatu dipuncak lemari.

Si gadis pemberi ilham, mengerutkan dahinya heran. “Cari apa, Kka ?”

“Kotak. Bantuin aku cari kotak. Aku gak tau warna dan bentuk persisnya gimana. Tapi aku yakin, dia nyimpen masalahnya di kotak itu. bantu aku, Shill”

Shilla mengangguk. Lalu turut menggeledah isi kamar sahabat kekasihnya itu. mencari barang yang dimaksud Cakka.

Gadis itu membungkuk kebawah tempat tidur. Sudut yang Ia yakini, belum dijamah Cakka.

Dan benar saja. Benda persegi panjang yang memiliki ruang, teronggok memilukan dibawah ranjang. Sendiri.

“Aku nemuin kotak, Kka” ceplos Shilla. Dengan gerakan cepat, Cakka turun dari kursi lalu membantu Shilla mengeluarkan kotak coklat tua tersebut.

*
Satu cinta yang datang, menyempil diantara persahabatan. Kisah biasa bukan ?

Pemuda itu menatap manik mata Shilla. Saat sang gadis mengangguk mantap, tangan Cakka terjulur menyentuh pinggiran kotak tersebut. Ia memutuskan untuk membuka kotak itu dirumahnya.

Kotak tersebut berhasil dibuka Cakka. Kotak yang terisi nyaris penuh. Entah barang apa saja yang diselipkan sahabatnya disitu. Yang jelas, barang pertama yang Cakka keluarkan adalah selembar foto. Foto sahabatnya bersama dengan dirinya. Lalu foto sahabatnya bersama keluarganya. Foto saat sahabatnya memasukkan bola kedalam ring basket. Lalu foto saat sahabatnya masih duduk di Taman kanak-kanak. Ada juga foto berdua dengannya, dengan menggunakan pakaian ala tokoh wayang saat keduanya mengikuti festival di bangku Sekolah Dasar.

Cakka tersenyum hambar. Ia ingat momen dalam foto itu. Lalu tangannya tergerak untuk mengambil barang lainnya.

Foto selanjutnya, cukup membuat Cakka terheran-heran. Pasalnya, foto yang tengah digenggamnya itu adalah foto dirinya seorang. Namun bagian pinggirnya seperti bekas tergunting. Potongan foto dengan bentuk tak sempurna.

“Loh, ini bukannya pas kita ke puncak ya ? kita kan foto bertiga,” ucap Shilla. Cakka membenarkan. Jika hanya ditemukan fotonya seorang, lalu kemana potongan foto itu ??

Belum juga Cakka mencari potongan yang lain, tangan Shilla lebih cepat meraih selembar foto lainnya dalam kotak. Foto yang cukup membuat keduanya tertegun.

“Ini..apa maksudnya ??” tanya Cakka sedikit terbata. Foto Shilla bersama sahabatnya. Yang pinggirnya bekas ‘tabrakan’ dengan gunting. Tak berbentuk persegi panjang sempurna. Sedikit bergetar, Cakka cocokkan potongan foto sebelumnya dengan foto tersebut.

PAS!

“Apa..apa dia sengaja gunting foto aku ??” gumam pemuda itu. sementara Shilla tak berujar banyak. Jujur Ia sendiri tak mengerti.

Lalu detik berikutnya, Cakka menemukan sebuah kepingan CD. Yang Ia sendiri tak tau apa isinya.

Pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap lurus kedepan. “Gue yakin, benda ini yang lo maksud sebagai privasi, Vin,”

*
Cakka menekan tombol ‘play’ pada DVD-nya. Disampingnya, Shilla terduduk diam.

Televisi itu menampilkan sebuah gambar Cakka dengan sahabatnya, Alvin, yang tengah bertanding basket dilapangan indoor sekolah mereka. Cakka ingat betul, sebelum pertandingan dimulai, Alvin yang saat itu membawa handycam, meminta Zahra-teman sekelas Alvin & Cakka- untuk merekam momen pertandingan itu.

Pada menit ke-8, cuplikan pertandingan berganti menjadi sebuah kamar bernuansa gothic. Cakka paham betul kamar itu. ya, kamarnya sendiri. Detik berikutnya, Alvin muncul sembari tersenyum-senyum. “Halo semua, gue lagi nginep dirumah sohib gue tercinta, Cakka. Dari tadi boring nih, si Cakka molor. Kita intip yuk ! gimana sih, muka bintang basket ini kalo lagi tidur”

Lalu Alvin mendekatkan handycam-nya kearah ranjang tempat Cakka terkulai pulas. Pemuda itu sempat terkekeh saat televise itu memamerkan wajah polosnya saat tertidur dalam ukuran dekat.

“Aku cakep kan kalo lagi tidur ??” goda Cakka, sontak Shilla melirik aneh. “Dih, narsis”

Cakka membalasnya dengan tersenyum. Lalu kembali memusatkan perhatiannya pada layar televisi yang selanjutnya, diputar beberapa momen Alvin dengan Cakka.

“Kalian tuh, emang bener-bener sepasang sahabat sejati yah” tukas Shilla. Diam-diam gadis itu iri melihat kedekatan sang pacar dengan sahabatnya. Bukan cemburu karena waktu Cakka tersita untuk Alvin, tapi lebih pada kecemburuannya karena Cakka memiliki sahabat yang bisa dikatakan, bagai belahan jiwanya.

pada menit berikutnya, layar televisi menampakkan Alvin yang tengah terduduk di sofa kamarnya. Raut wajahnya serius. Matanya menatap lirih kearah kamera.

“Hey, Kka. Saat lo liat rekaman ini, gue dimana ya ? gue harap sih..gue gak ada dideket lo. Karna pasti lo bakal ngamukin gue. hehe,”

Gue mau bilang makasih sama lo. Karena lo mau jadi sahabat terbaik gue. satu-satunya orang yang gue datengin disaat gue sedih. Dan orang pertama yang gue datengin disaat gue seneng. Begitu banyak arti hidup yang gue dapet dari lo. Tentang semangat, tentang perjuangan, tentang persahabatan, dan..tentang cinta,”

Cakka memejamkan matanya. Rol memori di otaknya memutar sekilas kenangan saat mereka bersama.

“Saat bonyok gue mutusin untuk cerai. Saat itu hidup gue berasa runtuh. Rasanya gue pengen minggat aja dari rumah. Gue iri sama keluarga lo, keluarga temen-temen di sekolah yang harmonis. Kenapa gue gak bisa kaya kalian ??,”

*

BRAKK!!

“SIAAALLLL !!!”  teriak Alvin penuh emosi. Setelah Ia selesai membanting buku-bukunya ke lantai. Sementara di sudut lain ruangan itu, Cakka memandang tingkah sahabatnya tanpa ekspresi.

“Kenapa idup gue se-sial ini ?? gue baru kelas 9, kudu jadi anak broken home ?? apa salah gue, apa ? mereka tuh egois. Atau..mereka lupa kali ya kalo mereka punya gue. gue anak tunggal mereka, tapi gue juga yang harus terima segala akibat dari keegoisan mereka. DAMN!”

Untuk sesaat. Kedua bocah kelas 9 itu, diam pada pikiran masing-masing. Alvin, nampak sibuk mengatur nafasnya yang sempat Ia tahan saat mengamuk tadi. Sedangkan Cakka, sejak tiga detik lalu memilih bangkit dari duduknya dan membantu memunguti buku-buku Alvin yang tadi dibuang sang pemilik.

“Udahan ngamuknya ?,” tanya Cakka tanpa menoleh. Bocah itu selesai menata buku sahabatnya kembali ke tempat semula. Barulah Ia menarik kursi meja belajar, yang digunakan sebagai tempatnya duduk.

Alvin tak bergeming.

“Kalo belum lega, lo lampiasin aja. Teriak-teriak kek, apa kek. Yang penting jangan ngamuk dikamar lo. Bantingin barang-barang. Gue juga kan yang kudu beresin,”

Alvin melirik Cakka sinis, “Yaudah, gue juga gak minta lo jadi asisten rumah tangga kok”

“Ck, ayolah, Vin. Orang tua lo cerai juga kan, dunia belom kiamat. Lo masih bis…”

“Lo mah gampang gitu. Secara lo gak ngerasain jadi gue. keluarga lo harmonis. Lo punya adek, papa mama lo saling sayang. Kalian saling mencintai satu sama lain. Saling melengkapi. Nah gue ? gue sendiri. Sepi, Kka. Sepi!” sela Alvin berapi-api.

Cakka menghela. Sifat temperamen sahabatnya yang mudah meledak, membuatnya harus memiliki kesabaran ekstra.

“Gini deh ya, Alvin. ini bukan masalah gue ngerasain atau gak. Bukan masalah siapa yang jadi korban broken home. Tapi ini adalah masalah, sejauh mana lo mampu bertahan. Bonyok lo cerai, idup lo gak berhenti sampe disini. Waktu terus berputar, Bray. Kalo lo terus hidup dalam keterpurukan, lo bakal ketinggalan waktu. Yang nantinya bakal berbuah penyesalan. Penyesalan itu rasa yang paling gak enak loh, Vin,” Alvin bisa merasakan aura semangat yang ditransfer Cakka ditiap ucapan dan nafas sahabatnya.

 “ Biarin aja bonyok lo hidup dalam argumentasi masing-masing. Yang penting lo kudu buktiin ke semua, kalo lo mampu bangkit. Lo gak sendiri kok, lo masih punya gue. Acha yang udah anggep lo sebagai kakak juga. Dan bonyok gue yang udah anggep lo anak. Gue dan keluarga gue, gak akan biarin lo sendiri. Kita jalan bareng-bareng. Gue gak akan biarin lo ketinggalan barang selangkah pun. Karena gue sahabat lo, percaya sama gue,” sambung Cakka.

Ekspresi amarah yang sebelumnya terpeta di wajah tampan Alvin perlahan, terganti oleh senyum dan sinar semangat dari si empunya raga.

“Thanks, Kka. Lo emang sohib sejati gue” lalu, kedua sahabat itu saling berpelukan.

*
“Gue selalu inget saat-saat kita di SMA. Masa putih abu-abu itu, kadang bikin gue senyam-senyum sendiri. Apalagi pas kita kabur dari sekolah. Lo inget gak, pas kita dihukum sama Pak Ony ? gila yah tuh guru, masa dua bintang basket, dijemur ditengah lapangan. Pake rok, man!! Haha..”

“Vin, liat nih, keren kan ?,” Alvin mengangkat wajahnya, saat dipandanginya Cakka tengah memamerkan sesuatu yang melekat pada telinganya.

“Piercing ? alay banget gaya lo, lo mau jadi anak punk ?,” ejek Alvin. Cakka melengos, “Ini tuh gaya, man! Gue keliatan ‘cowo’ banget kan pake ginian ?,”

“Gila lo, kalo ketauan Pak Ony gimana ? kalo ketauan nyokap bokap lo, gimana ? copot ah copot!”

“Yah, elo mah gak asik. Iya gue copot. Tapi nanti abis pelajarannya Bu Ning, guru plus maple favorit gue..ehehe,” Alvin menimpali dengan gelengan kepala. Tak berselang lama, seorang wanita menapaki ruang kelas mereka. Bukan, wanita ini bukan wanita paruh baya yang memiliki wajah keibuan. Tapi..seorang wan..eh lebih tepat disebut seorang gadis. Yang..hmm..berpenampilan sangat modis, cantik, dengan rambut yang digerai dengan aksen jepit rambut sederhana sebagai pemanis. Waw..

“Selamat pagi anak-anak, saya Pricill. Saya akan menggantikan Bu Ning mengajar Bahasa Indonesia untuk sementara waktu, karena beliau sedang sakit,” jelas gadis itu.

Alvin mengacungkan tangan, “Kita-kita musti panggil apa nih ? masa ‘ibu’ sih, kan muka situ masih kiyut,”

Disampingnya, Cakka memasang tampang cengok, dalam benaknya, sejak kapan sahabatnya ini menjadi tukang rayu, ?”

Guru baru itu terkekeh kecil, “Panggil saja ‘Bu’, kan memang sudah peraturannya,”

Lalu, pelajaran berlangsung. Murid laki-laki bukannya memperhatikan papan tulis, malah asik bekonsentrasi pada guru baru itu. termasuk Alvin.

“Bro, lo naksir beneran sama dia, ?” bisik Cakka. Yang dibalas Alvin dengan kedikan bahu.

Jam istirahat berbunyi. Sesuai janji Cakka tadi, ditemani Alvin, keduanya bergegas menuju toilet untuk membantu Cakka melepas anting-anting perak ditelinganya.

“Eh, guru kece, godain ah,” ceplos Alvin begitu melihat Bu Pricill tengah berjalan di koridor kelas. Tak jauh dari tempat keduanya berada. Mau tak mau, Cakka mengikuti saat Alvin melangkah cepat menjejeri guru baru itu.

“Hay, Bu. Aduh, kok bawa bukunya banyak banget sih, mana sendirian lagi. Sini saya bantuin,” pemuda oriental itu menawari bantuan. Dibelakangnya, Cakka meniru-nirukan tawaran Alvin tadi tanpa suara.

“Kamu baik banget ya, saya kira gak ada murid sebaik kamu di SMA,” kata guru cantik itu. Alvin tersenyum malu. Dan yah, mau tak mau Cakka mengikuti Alvin ke perpustakaan guna mengantar Buku-buku Bu Pricill.

“Makasih ya, Alvin,” ucap Bu Pricill saat mereka keluar dari perpustakaan.  “Gak masalah, Bu,” timpal Alvin malu-malu, “M-mm..maaf Bu, jepit rambutnya mau jatuh,” sambungnya yang dengan segera mengulurkan tangannya menyambut jepit rambut guru tersebut yang memang, akan terjatuh.

“HEH,!!” efek bentakan itu begitu hebat. Hingga Alvin, Bu Pricill, dan Cakka terlonjak. Dialah Pak Ony, kepsek yang dikenal sangat menyebalkan dan galak.

“Kamu itu gak sopan! Dia guru kamu, bukan pacar kamu! harusnya kamu lebih menghormati dia, perempuan yang memberi ilmu untuk kamu!! bukan malah bertindak macam-macam,” omel Pak Ony.

Bu Pricill merasa tak enak hati. bermaksud membela, “Tapi, Pak…”

“Bu Pricill gak salah, ini adalah salah Alvin. saya harus mengajarinya agar lebih menghormati perempuan,” tegas Pak Ony. Guru berkacamata itu melirik tak sengaja kearah Cakka, dan melihat benda mengkilap pada telinganya, “Kamu, kamu pake anting-anting ?? mau jadi perempuan kamu, hah ??!! kalian sama-sama punya masalah dengan perempuan, ayok, ikut saya ke ruang perlengkapan,!”

Dan..kedua sahabat itu harus menanggung malu berjalan disepanjang koridor sampai ruang perlengkapan, dengan telinga dijewer Pak Ony. Sialnya lagi, kepsek itu memberi mereka rok sebatas lutut pada keduanya, “Pakai ini, supaya kalian menghargai perempuan. Supaya kalian bisa mengerti, bahwa jadi perempuan itu gak gampang. Pakai, dan berjemur selama se-jam di lapangan outdoor. CEPAT!!!”

Glek, kedua sahabat itu harus siap mengobral harga diri mereka..

*
“Inget gak pas ulangan sejarah ?? gue gak akan ngelupain itu, Kka. Suatu kepuasan  tersendiri saat gue bisa nolongin lo. Yah, walaupun bukan pertolongan gede, tapi gue seneng. Gue seneng bisa ngangkat tangan lo dari kesusahan. Yang gue harap, seterusnya begitu…”

“….hari ini ulangan Sejarah!” koar Bu Ira setelah memberi salam pada murid-murid. Keluhan bernada putus asa dan tak senang menggema di tiap sudut ruang kelas, menandakan mereka paling tak suka ulangan dadakan.

Di bangku paling pojok belakang.

“Ck, gimana nih, Vin. Gue kan belom belajar. Kalo nilai gue jeblok, bisa digantung Mama” keluh Cakka. Disampingnya, Alvin tersenyum kecil. “Nyante aja kali, Kka. Kan ada gue. untungnya semalem gue sempetin baca buku,”

“Wihii, hebat lo. Gue nyontek ya” Alvin mengacungkan jempolnya dan berbisik tak kentara ‘sip’.

Lalu terdengar suara Bu Ira, “Untuk ulangan kali ini, Ibu mau mengacak tempat duduk kalian. Supaya gak ada transaksi memberi dan menerima jawaban dari teman dekat kalian”

Rasa-rasanya kesenangan Cakka surut seketika begitu mendengar pengumuman barusan.

“Kamu yang di pojok, Cakka pindah ke bangku nomor dua, dan kamu Ozy, silakan pindah ke belakang dengan Alvin”

“Ck, mampus gue. si Daud kan pelit banget kalo dimintai sontekan” lirih Cakka. Alvin menimpali, “Tenang aja, nanti lembar jawab lo jangan dinamain dulu”

Sebenarnya Cakka ingin bertanya mengapa, tapi Bu Ira lebih dahulu mendesaknya untuk segera pindah tempat duduk.

Sudah 20 menit ulangan berlangsung, tapi tak setitik pun tinta yang tertoreh di lembar jawab Cakka. Pemuda itu menuruti perintah Alvin untuk tak menamai lembar jawabnya. Tapi, untuk apakah ?? Sesekali Cakka menoleh ke belakang, bila Bu Ira tak melihat tentunya. Alvin tampak serius mengerjakan soal didepannya. Ah, andai saja Bu Ira menghilang 2 menit saja, dijamin Cakka akan berlari ke meja Alvin, lalu menyalin jawaban sahabatnya itu.

“Apaan nih, gue gak ngerti sama sekali,” gumam Cakka, selirih mungkin sembari mengamati lembar soal didepannya.

“Yang sudah selesai boleh berdiri,” seru Bu Ira. Membuat Cakka makin diambang keputus-asaan. Yang benar saja, bahkan belum ada satu jawabanpun dilembar milik pemuda itu. sungguh Ia sama sekali tak tau soal-soal ini. Bab baru, materi baru, dan bodohnya Ia tak mempelajari sebelumnya.

Mula-mula Dea berdiri, dia adalah murid terpintar dikelas. Kedua, Nova. Lalu Rahmi, Oik, Bastian, Nadya, Irsyad, Daud, Ozy. Lalu...Alvin!

Pemuda sipit itu berjalan mendekati meja Cakka. Disaat semua murid sibuk mengumpulkan lembar ulangan mereka, sehingga  membuat Bu Ira memiliki kesibukan kecil. Dan itu adalah keuntungan tersendiri bagi murid yang belum selesai mengerjakan.

Tanpa berbicara, Alvin menukar lembar jawabnya dan mengambil lembar jawab-kosong-milik Cakka. Lalu pemuda itu segera kembali ke tempat duduknya.

Cakka tertegun, menatapi lembar jawab yang sudah terisi penuh di mejanya. Terlebih saat melihat tulisan di pojok kanan atas, yang ditulis Alvin dengan nama…Cakka K.N.

Secepat kilat, Cakka menoleh ke belakang. Sahabatnya nampak sibuk mengisi-kembali-lembar jawab yang masih kosong tersebut. Dan Cakka yakin, lembar jawab kosong itu akan dinamai Alvin dengan namanya.

“Yap! Waktunya sudah selesai. Ayok kumpulkan kedepan!” Pinta Bu Ira. Cakka melangkah ke depan guna menyerahkan lembar jawab’nya’. “Alvin, berhenti mengerjakan dan segera kumpulkan kedepan,”

Sekali lagi Cakka yakin, lembar jawab itu tak dikerjakan penuh oleh Alvin. itu artinya, sahabatnya rela menukar nilainya hanya demi..menyelamatkan Cakka ??

*
“suatu hari, kita nemuin hobi baru yang bikin kita ketagihan. Balapan. Yah, hobi yang katanya sih, bikin kita keliatan jadi cowo macho. Haha, tapi gak perlu dengan balapan, kita juga udah keliatan macho dari orok. Yegak ?,”

Raungan gas dari berbagai jenis merk motor, terdengar hingga radius ratusan meter dari tempat itu. jalanan sepi yang lebih familiar sebagai markas muda-mudi yang memiliki kegemaran mengadu kendaraan roda dua mereka. Kegemaran menarik pol gas motor mereka. Sekaligus ajang pamer kendaraan mereka.

“Nah, ini tempatnya. Gue kalo lagi stress, pasti kesini. Ikut balapan, ato kalo lagi gak mood, paling ikut taruhan,” tutur lelaki berkulit hitam, Riko. Dibelakangnya, Alvin dan Cakka beserta motor mereka masing-masing, mengamati tempat yang ditunjukkan Riko, yang juga satu sekolah dengan mereka.

“Tapi..gue kan gak jago balapan, Ko,” balas Cakka putus asa. Sejurus kemudian, Cakka menoleh kearah sahabatnya, “Lo aja deh yang ikut, Vin. Gue nonton aja. Lo kan jago tuh kebut-kebutan,”

Alvin mendelik, “Oke, kalo gue menang, lo mau kasih apa ??”

“Ck, gue cium!”

“Hii, mending gue nyium motor gue,” Alvin bergidik. Riko turut tertawa. Sebenarnya, Alvin dan Cakka tak bermaksud untuk menjadi salah satu dari muda-mudi disana. Hanya saja, keduanya ingin melepas penat sehabis ujian akhir. Maka dari itu, Riko mengajak mereka ke tempat tersebut. Guna membuang stress.

“Jadi ikut ?? ntar gue bilangin ke temen gue,” tanya Riko. Sebelum memberi jawaban, terlebih dahulu Alvin memandang Cakka. Ketika karibnya mengangguk, barulah Alvin mengiyakan.

Seorang gadis dengan pakaian minim, melangkah ke tengah jalan dan berhenti diantara dua motor. Tangannya memegang sehelai sapu tangan. Si gadis mengibar-ngibarkan kain tersebut, sedetik kemudian, dua motor yang masing-masing berbeda merk itu, melaju cepat.

Ditempatnya berdiri, Cakka menatap penuh harap pada Ninja merah yang ditunggangi sahabatnya. Walaupun pertandingan ini tak menghadiahi piala emas bagi pemenang, namun entahlah, Cakka hanya ingin Alvin menang. Dan kembali tanpa terluka sedikitpun.

Ngeeeeung…
CITT..

“YES!!,” seru Cakka sedikit tertahan ketika motor Alvin berhasil lebih dahulu memasuki garis finish. Pemuda tampan itu menghampiri sahabatnya yang sedang disambut ucapan selamat oleh muda-mudi disana.

“Woy, Brayy..hebat lo, udah kaya pembalap Internasional,” puji Cakka. “Thanks, Kka. Berkat dukungan lo nih, stress gue beneran ilaaaaang. Kapan-kapan lo kudu nyoba,”

“Sipp, bisa diatur itu. eh kan lo menang, traktir gue dong,” pinta Cakka memelas, disambut toyoran dari Alvin. kedua sahabat itu berlalu meninggalkan tempat tersebut dengan tawa mengiringi.

Dan setelah hari itu, Alvin menjadi satu dari bagian muda-mudi tersebut. Karena disaat penat, Ia seringkali datang untuk sekedar mengadu kecepatan motornya.

Walaupun hanya Alvin, tanpa Cakka.

*
“Di penghujung kelas 3. Inget, Kka ?? kali pertama-nya lo…jatuh cinta,”

“VIN !!,” teriakan Cakka cukup membuyarkan kantuk Alvin. sedikit malas, Ia membuka mata sipitnya, “Apaan sih, ? Gue ngantuk tau abis begadang nonton bola,”

“Sori deh sori, gue ada kabar super duper penting nih, bangun lo makanya,” Alvin bangkit dan duduk bersandar pada tepian ranjangnya, “kabar apaan?”

Mata Cakka berbinar-binar, “Gue..gue jatuh cinta!!”

“Hah, sama siapa ?,”

“Inget Ashilla gak, temen SMP kita dulu ?? yang suka ke sekolah kepangan dua, trus pake tas selempang warna ungu , ?”

Alis Alvin saling bertautan, “Bego, gue kan gak pernah sekelas sama dia, tapi gue tau kok. Dia kan..rada cupu gitu ya, ?”

“Yee, bukan cupu, tapi lugu. Lo gak bakal percaya liat dia sekarang, cantik banget, Bro. beda sama yang dulu,”

“Ketemu dimana ?”

“Kemaren, pas gue ke swalayan nemenin Acha. Kita ketemu, terus gue minta nomer Hp, username twitter, terus….”

“Buset, lansung gitu, ?”

“Iyalah, beneran udah jatuh cinta gue sama dia. Lo doain ya, Vin. Moga pendekatan gue lancar !!”

Alvin tersenyum lalu menjabat tangan Cakka, “Pasti,”

*

“09 Mei, 2010. Lo dateng ke gue, dan membawa kabar gembira. Lo..jadian sama dia. Cinta pertama lo, gue ikut seneng dengernya. Jaga baik-baik dia, Bro. susah ngedapetinnya, bakal susah juga ngelepasinnya,”

“Eciee, yang baru jadian. PJ-nya jangan lupa,” goda Alvin saat Cakka dan Shilla menyambangi rumahnya.  Pemuda sipit itu mendudukkan tubuhnya di sofa dekat Cakka dan Shilla.

“Yah, berarti waktu lo sama gue bakal tersita dong, Kka. Gue cemburu sama lo nih, Shill. Ckck..apes banget ya jomblo kayak gue, padahal gue kan ganteng, keren. Tapi kok susah banget ya dapetin cewek, ?” ratap Alvin. membuat Shilla dan Cakka tertawa geli.

“Itu artinya lo gak laku,” timpal Cakka seraya melempari Alvin dengan bantal. Dibalas Alvin, “Enak aja. Kalo bukan karena doa gue, lo gak bakal jadian sama Shilla,” Lalu tatapan Alvin beralih ke Shilla, “Gue sama Cakka kerenan siapa, Shill ?? gue dong pasti,”

“Eh eh, cowok kamu kan aku, pasti kerenan aku dong. Ya kan,?” serobot Cakka. “Aelah ikut-ikutan aja, lo”

“Biarin, lo kan lebih tua dari gue. ngalah kek, ngaku dikit lah kalo gue emang lebih keren daripada lo, Vin” tutur Cakka, cuek. Alvin mencibir, “Enak aja. Gak ada ngalah-ngalahan dalam hal itu,”

“Ckckck…kalian lebih mirip kayak kakak-beradik ketimbang sepasang sahabat,” kali ini Shilla bersuara. Gadis manis itu menggelengkan kepalanya.

“Iyadong, Shill. Gue sama dia udah ngelebihin orang pacaran. Kalo orang pacaran kan gak tidur bareng, lah gue sama dia tidur bareng,” ceplos Alvin. dihadiahi jitakan dari Cakka, “Jangan salah paham dulu, Shill. Aku masih normal kok, gak kayak Alvin yang nafsu sama aku,”

“Enak aja lo kalo ngomong, Shill, cowok lo hobi banget memutarbalikkan fakta nih,”

Detik selanjutnya, gadis itu tertawa dalam duduknya. Menatapi suguhan pergulatan antar dua sahabat yang bersaing memperjuangkan pendapatnya masing-masing. Hanya sekilas saja, Shilla dapat melihat kekuatan persahabatan antara dua pemuda tampan didepannya.

Dimana persahabatan yang sejati, adalah yang siap menjadi tameng untuk melindungi satu yang lain. saling melindungi, saling memberi, saling mengasihi, dan..saling mempercayai.

*
“1 bulan setelah lo jadian, lo dateng bawa kabar buruk. Lo harus kuliah di Semarang. Kenapa lo harus pergi sih, Kka ?? gue belum terbiasa gak ada lo. Lo nitipin amanah ke gue buat jagain Shilla. Demi apapun Sob, gue bakal jaga amanat itu. karena Shilla udah gue anggep sahabat gue juga,”

Alvin mendelik, “Kenapa harus sejauh itu, sih ? di kota ini kan banyak Universitas. Tinggal pilih, tinggal tunjuk. Gak harus sampe ke provinsi laen, kan ?”

“Gue pengen nolak, Vin. Tapi ini murni kemauan Eyang gue. Eyang gue itu kalo udah punya kemauan gak bakal bisa ditarik lagi, kalo gak dituruti, salah-salah jantungnya kumat. Ayolah, gue kan gak pergi selamanya. Sesering mungkin gue usahain buat balik ke Jakarta,” terang Cakka. Ada nada kesedihan tersirat dalam perkataannya.

Disampingnya Cakka, perasaan Shilla tak jauh lebih baik. Aura kesedihan kuat  menyelimuti dirinya. Ia benar-benar tak mau jauh dari pemuda itu. dan lagi, Ia belum siap menjalani Long Distance Relationship.

Merasa sedari tadi Shilla diam, Cakka menoleh. Dan benar saja, sebulir airmata tak kuat lagi dibendung gadis itu. sontak, Cakka merangkulnya dan membenamkan wajah cantik Shilla kedalam bahunya, “Hey, jangan nangis dong..aku gak akan pergi selamanya kok. Janji deh aku bakal sering-sering balik, buat kamu. dan buat sahabatku juga. Karena alesan aku kesini hanyalah kalian berdua,”

Shilla tak bicara banyak. Mungkin gadis itu butuh waktu untuk menenangkan dirinya.

“Kapan lo berangkat ?” tanya Alvin datar. Walau sebenarnya Ia merasakan kesedihan yang sama besarnya dengan Shilla. Tapi sekeras mungkin Alvin tahan agar tak mengeluarkan ekspresi muram. Agar setidaknya, tak menjadi beban untuk Cakka.

“Lusa. Pagi-pagi buta,” jawab Cakka singkat.

“Gini aja, sebelum lo berangkat ke Semarang, lo puas-puasin deh seharian jalan sama Shilla. biar cewek lo gak sedih lagi. Gimana, ?” usul Alvin. Cakka menyernyitkan dahi, “Great idea. Gimana, Shill ? mau yah ?”

Shilla mengangguk, “Eh, Kka. Gimana kalo kita pergi bertiga ?? Alvin kan sahabat kamu. udah pasti dia pengen ngelewatin waktu sama kamu juga sebelum kepergian kamu,”

“He, gausah Shill. Ntar gue ganggu lagi,” elak Alvin. Cakka memelas kearah sahabatnya, “Lo ikut, ato gak ketemu gue selama-lamanya, ?”




*
“Besoknya, kita siap-siap ke puncak. Emang sih, udah ratusan kali kita kesana. Tapi karena permintaan Shilla, okelah ke puncak. Kita manfaatin waktu sehari itu, untuk sama lo, Kka. Gue sama Shilla bener-bener gak mau lo pergi jauh, tapi yah, kita bisa apa sih untuk mencegah lo ??”

Alvin telah selesai mengecek keadaan mobilnya. Nissa Terano Hitam yang terparkir gagah didepan rumahnya. Dirasanya cukup baik, segera Alvin melajukan mobilnya guna menjemput Cakka dan Shilla di rumah sahabatnya.

“Eh, lo mau duduk didepan ?? Shilla sendirian gitu, di belakang ??” cegah Alvin begitu Cakka akan membuka pintu depan mobilnya.

“Oh iya gue lupa,” Cakka menepuk jidatnya. lalu kemudian menyambung, “Eh tapi, kalo gue duduk dibelakang, lo kayak sopir dong, Vin”

Alvin tersenyum jahil, “Ya gak papa lah, mumpung gue lagi baik. Lagian, mana ada si sopir ke-ganteng gue ??”

Cakka mencibir kepedean Alvin, lalu membuka pintu belakang dan duduk disamping kekasihnya.

Sepanjang perjalanan, hanya alunan lagu dari radio ditambah suara cekikikan Shilla menanggapi mendengar gombalan Cakka yang mendominasi isi mobil. Tak ada suara Alvin. bukan karena Ia tak suka diabaikan, Ia hanya ingin berkonsentrasi mengemudi, dan tak ingin menganggu hari terakhir sahabatnya dengan kekasihnya.

“Hoi, Vin. Ngapa lo diem aja, ? iri ya liat gue mesra sama Shilla ? lo sih, gak jadi nembak Bu Pricill. Coba kalo jadi, bah! Kan bisa double date kita,” seru Cakka. Alvin melirik dari arah kaca, “Iya kalo gue nembak Bu Pricill, trus lo pengen liat gue dig ebukin sama tunangannya ?? oon lo,”

Cakka terkekeh. Lalu tanpa diminta, pemuda itu menceritakan semua tentang guru cantik itu pada Shilla. gadis tersebut ikut tertawa. Sementara Alvin pasrah saja menjadi bahan tertawaan.

Sampai di lokasi, Cakka dan Shilla asik sendiri. Sedangkan Alvin lebih nyaman membaringkan tubuhnya pada kap mobil sembari menyumpelkan headset Ipod-nya.

‘kalo gini sih, judulnya bukan pergi bertiga. Tapi gue nemenin lo pacaran. He’em, nelangsa banget lo, Vin. Tapi gak papa deh, demi sohib. Apa sih yang enggak,’ batin Alvin. ya, apapun untuk sahabat. Akan Ia lakukan.

“Alvin, ikutan foto yuk!!” ajak Shilla. gadis itu menenteng camera Polaroid. Alvin sendiri tak ngeh bahwa gadis itu membawa camera.

“Lo berdua aja,” tolak Alvin. Disambut raut kecewa dari Cakka dan Shilla, “Kita mah udah dari tadi foto berdua. Tinggal sama lo,” gentian Cakka yang mengajak, m-mm..lebih tepatnya memaksa.  Oke oke, Alvin menurut.

“Kita foto 3x, 1 disimpen aku, 1 disimpen Cakka, 1-nya lagi disimpen Alvin,” putus Shilla. Lalu Cakka meminta seorang lelaki yang kebetulan lewat, untuk memotret mereka. Shilla berdiri diantara kedua sahabat itu.

JEPRET!!

*
“Hari yang paling gak ngenakin itu akhirnya tiba juga. Lo pergi. Sori, Kka. Gue rada telat ke rumah lo. Untung lo belum berangkat. Gak ada pesan dan amanat macem-macem dari gue. gue Cuma berharap, lo baik-baik aja disana,”


Leher Cakka terjulur-julur bak jerapah, memandang kearah pintu masuk perumahan. Berharap muncul seseorang yang sedari tadi ditungguinya. Pemuda itu melirik arlojinya, jam 04:24. Setengah jam lagi Ia harus masuk mobil, dan berangkat menuju Semarang. Perjalanan kali ini memang ditempuhnya dengan mobil. Bersama salah satu Om-nya yang juga hendak ke Semarang.

Berselang satu menit setelahnya, terlihat cahaya kekuningan dari arah utara. Mobil tersebut berhenti disamping gerbang rumah Cakka. Pemuda tersebut menghela nafas.

“5 menit lagi lo gak dateng, gue berangkat,” ujar Cakka.

“Sori gue telat. Ngantuk, Bro. semalem liat bola. Ini aja gue setel 6 weker, 2 alarm Hp dengan volume full. Biar gue gak telat nganter lo. Lagian lo sih berangkat pagi-pagi bener,”

Cakka menggelengkan kepala mendengar penjelasan Alvin, “Thanks ya, Vin. Atas semua yang lo kasih selama ini. Gue gak akan pernah lupain lo,”

“Haha, lo ah mau kuliah aja kayak gitu banget nada bicaranya. Kayak gak bakal ketemu lagi aja sama gue. yang janji bakal sering-sering pulang, siapa ? lo kan, ?”

Cakka terkekeh, “Hehe iya juga ya. Jaga diri lo baik-baik ya, Vin. Gue doain moga lo nemuin cewek yang sama persis sama Bu Guru itu, hehe”

Alvin mengamini ucapan Cakka.

“Dan….gue nitip Shilla ya, Vin. Baru kali ini gue ngejalanin LDR. Gue belum percaya sama dia, sepenuhnya. Cuma lo yang gue yakini bisa ngawasin dia. Tolong jagain dia, buat gue. lo mau, kan ?” pinta Cakka. Alvin sendiri tak merasa terbebani dengan amanat sahabatnya.

“Pasti. Gue pasti bakal jalanin permintaan lo. Janji gue bakal jauhin siapapun cowok yang deketin Shilla. asal lo juga setia disana. Awas lo kalo kepincut sama cewek Jawa, gue orang pertama yang bakalan datengin lo, dan nonjok lo,!” ancam Alvin. Cakka mengacungkan jempolnya. Lalu kedua sahabat itu berpelukan.

Alvin menatap nanar mobil yang membawa sahabatnya memulai hidup baru. Dan mulai hari ini, Ia pun harus memulai hidup baru.

*
“Hari pertama tanpa lo, Shilla masih keliatan sedih, Kka. Dia belum terbiasa. Yah, sama kayak gue. tapi sebagai cowok, gue bisalah lebih tegar dikit. Cuma gue beneran gak tega kalo liat Shilla sedih. Dia jadi sering ngegalau gitu,”

Alvin menenteng laptopnya didepan ruang TV. Setelah mencolokkan modem, jari-jarinya lincah mengetik situs ber-icon burung, yakni twitter.

Setelah selesai memasukkan username beserta password, Ia siap untuk log-in.

Klik!

Timeline bertebaran dengan update teman-teman dari followingnya. Namun ada satu yang menarik perhatiannya.

@Ashillaaz aku kangen sama kamu, Kka ): ): ):

Dalam hati Alvin merasakan sesak. Bukan karena cemburu, tapi Ia merasa gadis itu sangat rapuh saat ini. Bagian dari janjinya bahwa Ia akan menjaga Shilla. menenangkan gadis itu dikala risau.

Jari jemari Alvin lincah mengetik sesuatu untuk Shilla.

@Ashillaaz cupcup..jangan cedih dong. Nanti qaqa Cakka cedih juga kalu liat qaqa galau..kasih senyumnya dong, qa (: (: (:

Tak lama, satu mention diperuntukkan untuk Alvin.

@AlvJnathan mau senyum ? berani bayar berapa ? :p nih deh aku kasih senyum paling manis untuk adek lucuuu :D

Jemari itu kembali menari-nari di keyboard.

@Ashillaaz nah gituu dong, kan aku ceneng liatnya. Hehe..jangan cedih lagi ya qaqa ;)

@AlvJnathan apaan deh lo, Vin. Sok imut banget -__- iya deh gue gak sedih lagi :’(
@Ashillaaz yah, katanya gak sedih, tapi kok emot-nya kayak gitu ?? ikut nangis nih gue :”””(
@AlvJnathan haha cengeng lo. Gue Cuma ngerasa kesepian aja, Ko T_T
@Ashillaaz kesepian ?? kan ada gue, Shill. Lo gak sendirian kok. Gini aja, lo ada acara ??
@AlvJnathan kapan ??
@Ashillaaz taon depan. YA SEKARANG LAHHH !!
 @AlvJnathan hehe, nyantai dong. Sekarang sih free. Kenapa ?
@Ashillaaz Jalan yuk, gue tau tempat biar lo gk sedih lagi..
@AlvJnathan mmm..boleh deh.
@Ashillaaz sip! Gue jemput ya (:

Selesai mengirim mention terakhir, Alvin meng-klik link ‘log out’ pada pojok kanan atas twitter. Lalu pemuda itu bersiap-siap menjemput Shilla.



Shilla mendegut ludah begitu mengetahui kemana Alvin mengajaknya. Gadis itu melirik pemuda yang nampak tenang disampingnya, “Lo..yakin kita gak kesasar, ?”

“Ya enggaklah. Dulu gue sama bokap sering kesini.  Bokap ajarin gue naik kuda dikit-dikit. Yah walaupun udah lama gue gak kesini, tapi gue yakin kok masih bisa dikit-dikit,” balas Alvin sembari berjalan mendekati seseorang yang tengah mengelus-elus seekor kuda.

“Mang Udin, masih inget saya, ?” tanya Alvin pada pria ber-peci. Merasa terpanggil, lelaki itu menoleh, “Oh, Mas Alvin putranya Pak Jonathan, ? pasti, mas. Pasti saya masih inget. Lah, wong saya yang suka mandiin kudanya Mas, si Poni,”

Alvin tersenyum lebar, “Poni gimana, Mang ?? lama saya gak kesini. Dia masih keurus kan ?”

“Masih, Mas. Masih. Yuk ikut saya ke kandangnya,” Alvin memberi isyraat pada Shilla yang sedari tadi diam, untuk mengikuti dirinya dan Mang Udin menuju kandang kuda.

Seekor kuda bertubuh tegap berwarna coklat kehitaman, yang sebenarnya terlalu feminism dinamai ‘Poni’ itu, tengah asik melahap rerumputan hijau dihadapannya. Tanpa mempedulikan kehadiran ‘Tuan’nya.

“Hey, Poni. Sori ya, gue baru nengok lo sekarang. gue lagi butuh lo, nih. Buat ngusir kesedihan cewek ini,” Alvin menunjuk Shilla, “Lo mau kan, bawa dia lari ??” Alvin berbicara seolah-olah kuda itu bersuara.

Lalu tatapan Alvin beralih pada Mang Udin, “Mang, saya mau pake poni buat keliling sebentar, “

Penjaga kandang kuda itu mengangguk, lalu membukakan pintu kandang poni.

“Naik,” suruh Alvin saat poni berhasil dikeluarkan. Shilla berubah pucat, gadis itu menggeleng, “Gue gak pernah, gak bisa, gak berani naik kuda,”

“Ck, asik kok. Tenang aja. Gue bakal bawa lo keliling disekitar sini. Poni gak akan lari kok, Cuma jalan. Mau yah ?”

Pasrah, Shilla menuruti. Sementara Alvin menempuk pinggul si kuda, membuat poni berjalan dan cukup membuat Shilla terkejut.

“Vin, lo gak naik ??” tanya Shilla yang heran melihat Alvin berjalan disamping kuda, mengiringinya. Bukan malah ikut naik bersamanya. Alvin menggeleng, “Gak. Ini kan buat lo. Bukan buat gue,”

Sederhana memang, hanya berkeliling disekitar peternakan kuda. Melihat anak-anak asik memintal benang untuk layang-layang mereka.  mendengar gemericik air sungai yang bertabrakan dengan bebatuan. Hal sederhana yang cukup membuat kesedihan Shilla terangkat sedikit. Ditambah ocehan Alvin yang menceritakan masa-masa sekolah dasar-nya dulu dengan Cakka.


“Makasih ya, Vin. Untuk hari ini. Lo emang baik banget. Wajar kalo Cakka seneng punya sahabat kayak lo. Gue balik ya,” ujar Shilla setelah mobil Alvin sampai didepan rumahnya. Alvin mengangguk senang.  Berhasil Ia lakukan satu hal untuk menyenangkan sahabatnya.

*

“Senyum lo adalah senyum gue. sedih lo adalah sedih gue. janji gue demi apapun, gak akan pernah kecewain lo, Kka”

Drrtt…drrtt…
Suara getaran ponselnya membuat Alvin terpaksa meninggalkan kesibukannya mengerjakan seabrek tugas diawal kuliahnya. Pemuda itu menautkan alisnya, melihat nama Shilla berkedip-kedip di layar ponselnya. Hmm..kalau saja bukan Shilla yang menelpon, sudah pasti akan Alvin marah-marahi karena sudah menyita waktu belajarnya.

“Halo..”
“Ha..halo, Vin,” balas Shilla. suaranya parau. Seperti habis menangis.
Alvin dibuat panik, “Shill, lo nangis ya ? kenapa ? kasih tau gue siapa yang bikin lo nangis ?”
“Gak..gak kok. Gue cuman..cuman lagi kangen sama Cakka,”
Alvin menghela nafas lega, “Oh, gue kirain ada yang jahat sama lo. Yaudah kalo kangen lo telpon aja gih,”
“Itu masalahnya, Vin. Gue telponin gak aktif mulu, sms pending,”
“Mungkin lagi di charge kali, Shill. Dia kan kalo ngecharge Hp emang selalu di non-aktifin,”
“Tapi gue udah nyoba sejak tadi siang, Vin. Masa sampe malem ini sih ngecharge-nya ?”
“Yah, mungkin Hpnya rusak kali,”
“Atau jangan-jangan, dia udah nemu gebetan baru, ?”
“Hey, hey, jangan negative thingking dulu dong. Gue yakin kok sahabat gue gak kayak gitu,”
“Terus kenapa ponselnya gak aktif ?”
“Pasti ada alesan lain, Shill. Percaya sama gue,”
“Pliss, Vin. Bilang sama Cakka, jangan bikin kepercayaan gue luntur sama dia,”
“Pliss, Shill. Jangan ngeraguin perasaan sahabat gue ke lo,”
“….”
“Shill, ?”
“Ya, ?”
“sekarang, lo kalo ada apa-apa, telpon gue aja. Gue siap kok jadi sahabat buat lo. Apapun yang lo rasain, curhatin aja ke gue,”
“Iya, makasih ya, Vin. Gue….”

Keduanya terlibat percakapan via telepon hingga larut malam. Yang akibatnya, tugas kuliah Alvin terabaikan dan membuatnya mendapat teguran keras dari dosen killer.

*
“sebulan lo pergi, Kka. Gue udah bisa jadi sahabat buat cewek lo. Selalu ada tiap dia ngebutuhin. Gue jalanin amanat gue, Kka. Walau gue gak tau, sampe kapan gue bertahan untuk tetap seperti ini. Gue gak mau berubah, Kka. Gak mau..”

“Shit! Telat gue, telaaaat!! Untung aja mata kuliah pertama bukan si dosen sangar, bisa digantung gue kalo ketauan telat,” gumam Alvin seraya meraih kunci mobilnya. Baru beberapa detik melangkah, Ia berbalik, “Naik motor aja kali ya, biar cepet, “

Kemudian pemuda itu berbalik dan mengambil kunci motor.

Alvin menarik gas motornya dengan kecepatan maksimal. Lalu lalang kendaraan yang cukup ramai tak menyurutkan niatnya untuk memacu kendaraannya gila-gilaan agar cepat sampai ke kampus.  Hingga pada sebuah tikungan. Ya, tikungan. Seorang ibu tambun yang membawa tas belanjaan, menyebrang dengan sepeda motor bebeknya tanpa alih-alih. Jelas saja membuat Alvin terkejut, lalu tanpa sengaja menarik rem tangan tanpa rem kaki. Yang membuatnya terjungkal kedepan, dan membuat helm-nya terlempar.

Drrtt…drrtt..
Alvin mendecakkan lidah kesal. Puluhan kali getaran di ponselnya Ia acuhkan. Rasa sakit dan nyeri pada siku, lutut, serta pelipis yang lecet akibat kecelakaan kecil tadi membuatnya tak berniat mengangkat panggilan darimanapun.

Drrtt..drrtt…
“Ah, ngajak ribut nih yang telpon gue! gak tau apa orang abis kena musibah,” ogah-ogahan, Alvin bangkit meraih ponsel di meja belajarnya. Dari Shilla rupanya..

“Halo, Vin. Lo kemana sih ? gue cari ke kampus lo gak keliatan. Lo gak masuk ya, ?” gadis itu langsung menyerbunya begitu telpon diangkat. Bahkan sebelum Alvin menjawab ‘halo,’

“Gue gak masuk, Shill. Abis kecelakaan kecil tadi pas mau berangkat,”  jawab Alvin. Ia bisa merasakan sesuatu mengalir dari pelipisnya. Memang, bekas-bekas luka itu belum diobati. Alvin melarang pembantunya mengolesi salep atau menempelkan obat merah. Entahlah, sejak kecil Alvin tak suka dengan bau salep atau warna obat merah.

“Hah, yaudah deh gue otw ke rumah lo, ya”

“Ehtapi, kuliah lo gim…” KLIK. Sambungan telepon sudah diputus Shilla.



“Lo tuh gimana sih, phobia sih phobia. Tapi kalo lo infeksi gimana ?? jangan main-main sama luka dong, Vin” omel Shilla begitu Ia sampai di rumah Alvin. gadis itu menyuruh Alvin duduk di sofa ruang tengah. Sementara dirinya melesat ke dapur, membawa kotak P3K.

“Sini gue obatin,”  wajah Alvin berubah pucat saat Shilla mengoleskan obat merah pada kapas putih, “Pelan-pelan,”

“Gue obatin pelipis lo dulu deh, darahnya masih ngalir gitu,” gumam Shilla tanpa mempedulikan permintaan Alvin. “Ck, lo-nya madep sini dong. Susah amat,” tangan Shilla memegang dagu Alvin, dan membuat wajah Alvin menghadap padanya. Dirasanya pas, gadis itu mulai mengobati pelipis Alvin.

Jarak yang begitu dekat, membuat Alvin bisa merasakan nafas Shilla memanas di pipinya. Sentuhan lembut gadis itu, sama sekali membuatnya tak merasakan perih. Entah untuk apa, Alvin menoleh. Dan melihat mata bening Shilla. gadis itu tersenyum, “Gak sakit kan ?”

Cantik. Ya, sangat cantik. Kenapa Alvin baru menyadari itu sekarang ??

Mengapa ada segumpal perasaan aneh yang membuat jantungnya berdetak tak normal ?? apakah Ia mulai jatuh cinta dengan gadis itu ? karena Ia mulai terbiasa dengannya  ?

Ah tidak. Alvin memejamkan matanya. Ia harus cepat membersihkan hatinya. Ingat, Shilla adalah kekasih sahabatnya.

*
“Semenjak itu, ada rasa aneh yang makin membungkus hati gue saat gue ketemu Shilla. gue gak tau apa, gue bahkan gak berani mengartikan. Gue takut, Kka. Gue takut gue bakal ngecewain lo,”

“Vin, Cakka jahaaaaat,!!” Shilla mendatangi kampus Alvin dengan berurai airmata. Membuat pemuda itu panik, “Kenapa ?”

“Dia marah sama gue, dia marah sama gue, Vin!”

“Iya tapi kenapa, ?”

“Kan..kan gue ngambek gara-gara telpon gue gak diangkat. Sebenernya dia udah sms, kalo dia ikutan rapat sama sesame aktivis kampus. Buat bahas penanganan apa gitu gue lupa. Tapi gue nekat telponin dia mulu, trus..trus dia ngangkat telpon gue. tap..tapi dia malah bentak gue, katanya..katanya gue gak boleh manja. Gue harus ngertiin kesibukannya. Gue bingung, Vin. Gue salah ya ??” tanya Shilla. mata yang terlihat memerah itu, menatap dalam kearah mata Alvin. membuat pertahanannya runtuh. Makin runtuh.

“Gue gak tau, Shill. Maaf,” sebenarnya bukan Ia tak mau memberi Shilla nasehat. Hanya saja, Alvin sendiri tak cukup kuat mengatakan segala hal positif tentang Cakka. Ia sesak, bukan karena melihat hubungan sahabatnya memburuk, tapi sesak karena cemburu.

“Gue sayang sama Cakka, Vin. Salah ya kalo gue terlalu over kasih perhatian ke dia ?? dia jauh dari pandangan gue, Vin. Gue pengen ketemu dia, gue peng….” Shilla tak melanjutkan perkataannya, karena Alvin lebih dahulu merangkulnya bersandar di bahu kokoh pemuda itu.

“Jangan sedih, Shill. Lo pasti bakal baik-baik aja sama Cakka. Pasti,” hibur Alvin. sederet kalimat yang andai saja Shilla tau, bahwa membutuhkan kekuatan ekstra untuk mengucapkannya.

Drrtt…drrtt..
Ponsel Alvin bergetar. Masih dengan mendekap Shilla, Alvin membuka 1 sms untuknya. Dari Cakka, yang berisi : “Vin, Shilla ada sama lo, gak ? gue telpon sms ke hp-nya gak bisa. Tolong dong sampein ke dia, kalo gue minta maaf,”

Untuk sesaat pemuda itu bimbang, lalu Ia memutuskan untuk membalas, “Gak, shilla gak ada sama gue. gue masih di kampus. Ntar kalo gue ketemu dia, gue sampein,”

Egois sedikit tak apa, kan ?? sungguh, bukan Alvin ingin menodai persahabatannya dengan Cakka. Bukan karena Alvin ingin mencuri start. Hanya saja, Ia ingin menikmati saat-saat Ia merengkuh gadis itu tanpa gangguan sedikit pun. Maaf, maaf.

*
“Gue bingung, Kka. Makin hari, rasa ini makin tumbuh gak terkendali. Gue gak mau, rasa ini nantinya bakal ngerusak persahabatan gue dan lo. Gue gak mau, rasa ini jauh lebih memenangkan ego gue. gue gak mau jadi orang ketiga buat sahabat gue sendiri. Persahabatan lebih penting bagi gue, Kka. Tapi ketika semua berjalan terlalu jauh, ketika Shilla terlanjur bergantung sama gue, ketika gue sering ketemu sama dia, apakah rasa ini masih bisa diredam ?? gue sayang sama dia, gue cinta sama dia. Gue pengen milikin dia. Tanpa harus melangkahi lo sebagai sahabat gue. kalo gue bisa minta ke Tuhan, gue mohon, supaya Dia mindahin rasa ini ke cewek manapun. Asal jangan Shilla. asal jangan dia…”

“SURPRISEEE !!” teriak seorang lelaki berwajah tampan dengan senyum sumringah didepan pintu. Alvin tak dapet menyembunyikan keterkejutannya melihat Cakka.

“Hey, Bro! pa kabar lo ? eh lo gak peluk gue, nih ? malah diem aja kayak orang bego. Ayok, peluk!” perintah Cakka. Alvin memeluk karibnya. ada berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. Mengingat rasa yang berusaha Ia timbun dalam-dalam untuk kekasih sahabatnya.

“kenapa lo balik, ?” tanya Alvin.

“Ye, gue gak boleh gitu balik kesini ? kan gue udah bilang, kalo gue bakal sering-sering pulang,” Cakka menjatuhkan dirinya di sofa. Mengikuti Alvin. “Eh, Shilla gimana ? gue kangen sama dia,”

“Ada tuh di rumahnya. Temuin aja, dia udah kangen banget tuh sama lo,” usul Alvin. yang sesungguhnya Ia sendiri sakit hati harus mengatakan hal itu.

“Ntaran aja deh, gue pengen ngehabisin waktu sehari ini sama lo, sahabat gue tercinta,”

Deg! Bagai ribuan parang yang menyerbu jantung Alvin. hujaman perasaan bersalah mengepungnya. Karena diam-diam telah mencintai kekasih sahabatnya. Sungguh, bukan maunya seperti ini.

“Kka,”

“Ya ?”

“Gue..gue mau minta maaf, kalo selama ini gue ada salah sama lo,”

Cakka mendelik, heran, “Hah ? lo ah, kayak lebaran aja minta maaf. Salah lo banyak sih, tapi yaudah lah gue maapin sejak dulu. Gue kan baik,”

“Gue serius, Kka”

Raut wajah Cakka berubah, “Maksud lo?”

Alvin menggeleng, “Gak. Gue gak bisa jelasin sekarang. suatu saat, lo pasti tau. udah sana, mending lo ke rumah Shilla aja. Gue ada janji nih sama dosen gue,”

“Bah, ngusir lo ?? yaudah deh gue pergi,” Cakka bangkit dan berlalu. Alvin segera berlari menuju kamarnya. Pemuda itu mengunci pintu kamar. Lalu membungkuk, mengambil sebuah kotak berwarna coklat tua. Diletakkannya kotak itu diatas ranjang. Tangan Alvin terulur membuka kotak tersebut.

Mata sipitnya meraih selembar foto berisi tiga manusia yang diambil sekitar setengah tahun lalu. Sebelum semua berubah.

Dirinya, Shilla, dan Cakka.

“Maaf, Kka. Gue gak bermaksud mencintai cewek lo. Gue udah berusaha meredam semua. Gue berusaha untuk menghindar, tapi gak bisa. Ijinin gue nyimpen rasa ini, Kka” gumam Alvin. pemuda itu meraih gunting, lalu memotong gambar Cakka. Hingga hanya menyisakan fotonya dengan Shilla. berdua saja.

*
“Gue tau ini udah diluar batas. Semua berjalan makin jauh. Setan dalam diri gue berantem untuk memperebutkan ego, antara sahabat atau cinta. Gue bingung, Kka. Gue bingung. Gue makin bersalah sama lo. Gue sakit kalo liat Shilla. mau gak mau gue kudu terima kenyataan kalo cewek yang gue cintai, adalah milik sahabat gue sendiri. Lo inget, Kka ? kita pernah ngatain sinetron yang ceritanya tentang cinta yang datang merusak persahabatan. Yang menurut kita tuh cerita basi banget. Hehe, kayaknya gue kena karma deh. Sekarang, gue ngalamin sendiri kisah basi itu. ternyata ini rumit, Kka. Mempertahankan persahabatan, dan memendam cinta. Itu susah. Gue udah berusaha buat ngilangin perasaan gue ke Shilla. tapi susah, rasa ini tumbuh subur. Plis Kka, ajarin gue supaya cinta ini bisa ngilang. Gue lebih baik mati rasa ketimbang harus mencintai pacar sahabat gue sendiri. Gue lebih baik mati rasa. Kasih tau gue, apa yang harus gue lakuin biar rasa ini mati ?? apa, Kka ? apa ?”

Tepat setahun berlalu.

Alvin membaca sms Shilla yang menyambangi ponselnya sejak semalam, “Vin, gue sama Cakka rencana mau tunangan di bulan September nanti, lo adalah orang pertama yang kita kasih tau,”

Sekaligus orang pertama yang menyimpan perih dan sakit di ulu hati.

Pikirannya buntu, ketika takdir memaksanya menerima kenyataan bahwa wanita yang Ia cintai, akan diikatkan dengan sahabatnya. Berkali-kali pemuda itu merutuki mengapa rasa itu tumbuh untuk Shilla ? mengapa Cakka harus memilih Shilla ? mengapa Cakka mengamanatinya untuk menjaga Shilla ? dan..mengapa dia harus bersahabat dengan Cakka ??

Alvin memutar bola matanya, lalu meraih kunci motornya.

“Hey, Bro. tumben lo kesini. Udah lama banget lo gak mampir. Lagi stress ya, ?” Riko menyambut kedatangan Alvin ketempat balap liar itu.

Alvin tersenyum getir, “Iya gue lagi stress. Gue mau main dong,”

“Wah pas banget, ini pertama kalinya lo kesini lagi setelah setahun lalu, kan ? lo belum nyobain markas baru kita. Jalanannya keren, gak beda jauh deh sama sirkuit di GP,”  tutur Riko. Memang, kawanan balap liar itu meninggalkan tempat lama mereka karena digusur pihak berwajib. Maka dari itu mereka mencari markas baru, disini. Di pinggiran kota.

Alvin tak begitu mempedulikan apa ucapan Riko selanjutnya. Saat Riko memanggilkan lawan untuknya. Ia tak peduli. Ia kemari hanya ingin melepas penat serta beban yang terlanjur berat menggelayuti dirinya. Kalaupun harus Ia akhiri, maka Ia akan akhiri sekarang.

Ngeeeeung….

Alvin memacu pol gas motornya. Tak peduli apapun resikonya. Memang benar kata Riko, tempat baru itu bahkan lebih mengerikan daripada sirkuit. Tikungan tajam. Belum lagi terdapat jurang menganga di sisi kiri tikungan itu. tanpa pembatas jalan. Sedikit saja selip, maka si pengemudi akan terlempar masuk ke jurang.

Putaran ke-2.

Pikiran Alvin makin tak terkendali. Tanpa ada yang menduga, Ia melepas helm dan melemparkannya ke dalam jurang. Lalu meneruskan balapan lagi.

Putaran ke-3.

Setan dalam egonya makin panas bertarung. Entah siapa yang menang, Alvin hanya tak ingin rasa itu merusak persahabatannya dengan Cakka. Jika memang Ia mencintai Shilla, biarlah Ia kubur rasa itu dalam-dalam. Menjadi pengagum rahasia saja sudah cukup.

Putaran ke-4

Tapi, mendengar kabar mereka akan bertunangan, cukup kuatkah Ia bertahan dalam benteng persahabatannya ? cukup tegarkah Ia melihat wanita yang dicintainya, bahagia bersama sahabatnya ? cukup sabarkah Ia berada dalam topeng sandiwaranya ??

Putaran ke-5, atau putaran terakhir.

Alvin hanya takut, rasa itu tumbuh hebat yang nantinya akan mematikan persahabatannya. Ia takut menjadi pihak ketiga yang kejam dan memaksa di wanita berpaling dari kekasihnya, untuk bersamanya. Ia tak mau menjadi seperti itu. Tuhan tolong, matikan rasa ini..

Pemuda itu melihat tikungan yang menanti didepannya. Dan jurang yang terlihat didepannya. Segenap kekuatan, Alvin mengegas pol motornya, pemuda itu memejamkan matanya. Dan..membiarkan motornya bergerak lurus kedepan, kearah jurang. Bukan mengikuti tikungan…

Lebih baik Ia mati rasa, ketimbang harus menjadi pengkhianat..

*

Cakka menekan tombol ‘stop’. Wajahnya nampak frustasi. Jadi itu..jadi itu alasan mengapa Alvin sengaja mengarahkan motornya kearah jurang, 2 hari yang lalu ? karena Ia mencintai kekasihnya ??

“Maaf, Kka. Gara-gara aku semuanya jadi kayak gini,” lirih Shilla. Cakka menggeleng, “Bukan salah kamu. aku hanya gak nyangka endingnya bakal begini,”

Tepat setelah Cakka berkata demikian, semilir angin yang cukup kencang, menerbangkan potongan foto Alvin dan Shilla. entah kemana..

“Biarin gue simpen rasa ini,”

-TAMAT-


Selasa, 02 Agustus 2011

Hidupmu Hidupku 8 -Short Story-

Kaulah darahku, juga nadiku. Kaulah nafasku, juga jantungku. Engkau lah hatiku, dan juga jiwaku..
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karena mu. Aku mau, disisa waktuku bersamamu..

Hanya bersamamu..

(Naff-Kaulah Hidup & Matiku)

Aku mendegut ludah. Sekali lagi. Mata ini benar-benar tak berkedip menatapinya, mengagumi ukiran indah mahakarya Sang Pencipta. Beberapa kali aku bertemu dengan kaum hawa. Tapi baru kali ini aku dibuat ternganga oleh pesonanya. Dia..sungguh cantik. Bahkan amat sangat cantik.

Terlalu sinetron mungkin, jika melihat posisi kami sekarang. Aku dan Ia, setengah berjongkok karena harus memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan akibat insiden tabrakan kecil denganku saat kebetulan aku berpapasan dengannya di salah satu sudut sekolah.

Untuk pertama kalinya. Aku melihatnya.

“Umm..sori” lirihnya pelan sembari bangkit. Aku tersadar seketika kala menyadari Ia telah merapikan buku-buku yang berjatuhan tadi.  Aku pun turut berdiri.

“Ngga, gue kok yang salah” ucapku seraya tersenyum.

Ia ikut tersenyum. Lalu melanjutkan langkahnya setelah berkata “permisi”

Aku masih terdiam kala itu. Dan, seperti mendapat ilham, dengan cepat aku berbalik dan mencegahnya pergi. “Hei”

Ia berbalik. Bisa kulihat matanya melukiskan sebuah tanda tanya.

“Mmmm…” sedikit ragu. Jujur aku gugup sekali, entah mengapa. Biasanya aku tidak seperti ini jika berhadapan dengan gadis manapun. Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Sepertinya Ia menunggu aku mengeluarkan kalimat berikutnya.

Oke Vin, hapus kegugupanmu! Aku menghela nafas, kuberanikan diri menatapnya. “Siapa namamu ?”

Yeah..! aku menghembuskan nafas lega. Memang pertanyaan singkat. Dan aku tak mengerti mengapa diriku ini begitu gugup hanya untuk melontarkan dua kata didepan gadis yang jaraknya tak lebih dari 2 meter ?

Sesuatu terukir di wajah cantiknya. Senyum itu. “Namaku ? Ashilla. Panggil aku Shilla”

**
Setiap gerakanmu adalah catatan pasti. Kemarin kita bertemu. Hari ini seribu puisi indah memuja kesempurnaanmu, menggelayut dalam memori hatiku. Membekas disetiap helaan nafas, tergurat di tiap degupan jantung.

“Oh, dia Shilla. Siswi pindahan dari Surabaya. Anaknya kalem, lebih seneng di perpustakaan kalo istirahat, pagi pas dia nyampe sekolah, ato pelajaran kosong. Pinter. Udah sih gitu aja info yang gue dapet” tutur Rio, sahabat karibku.

Ya, aku memang menyuruhnya untuk menyelidiki siapa Shilla sebenarnya. Oh, ternyata gadis lugu. Pantas saja kecantikan wajahnya terpatri alami. Tanpa sapuan make up mewah seperti kebanyakan remaja putri di sekolah ini.

Dan itu yang membuatku makin menyukainya, yaitu..kesederhanaannya.

“Usut punya usut, ngapain lo nanya nanya cewe itu ? Aha, jangan-jangan lo naksir ya ?” terka Rio. Aku tersenyum. “Terus kenapa kalo gue naksir ? ga boleh ?”

Mati-matian aku menahan tawa melihat ekspresi Rio yang seakan baru menelan bola kasti. Matanya yang sudah besar, dipelototkan sedemikian rupa hingga nampak akan keluar. Mulutnya menganga. Tak mau membahayakan jiwa karibku (kalau-kalau ada lalat atau binatang sayap terbang memasuki liang mulut Rio) segera kutepuk pundaknya.

“Hei, biasa aja kali reaksi lo” ledekku. Rio sudah menormalkan kembali mukanya. Hanya saja masih terlihat..cengok. “Serius Vin ?”

“Iyalah! Pernah denger kan istilah..Love at first sight ?” tanyaku.

Rio mengangguk. “Cinta pada pandangan pertama ? hei, setau gue lo bukan penganut itu”

“entahlah, tapi ini beda Yo”

Dimana letak kelucuan pada ucapanku hingga Rio tertawa terbahak-bahak. Aku meliriknya tajam. Menyampaikan kalimat ‘kenapa tertawa ?’ melalui lirikanku. Syukurlah Rio mengerti. Ikatan batin kami memang cukup kuat setelah 10 tahun bersahabat ._.

“Sebenernya sih, gue rada ga percaya Vin. Secara kan..Alvin Jonathan itu playboy. Yang saban minggu genti cewe. itu yang pertama. Yang kedua, dari seluruh daftar mantan-mantan lo, gue menyimpulkan bahwa criteria lo itu cewe yang modis, gaul, menor, seksi, tajir, dan popular. Jauh banget dari si..siapa itu ?”

“Shilla” selaku.

“Lah iya Shilla. Yang ketiga, lo ngga pernah melibatkan cinta dalam pacaran. Jadi..gue rada mikir mikir aja, jangan-jangan lo mo jadiin Shilla korban lo juga ?”

Aku memandangnya sewot. Seenaknya saja menuduh. “Yee nggaklah. Gue serius”

“Tapi gue tetep gak yakin Shilla bisa percaya sama playboy cap gentong kaya lo”

Ucapan Rio tak ubahnya seperti tantangan yang berseru nyaring dalam diriku. Membakar semangatku untuk membuktikan pada karibku ini bahwa aku serius dengan kata-kataku.

“Lo jadi saksi ya Yo, gue bakal buktiin ke lo dan semua..kalo cintalah pemeran utama dalam hubungan gue sama Shilla. Dan gue bakal dapetin kepercayaannya dia!”

**

Pesonamu telah menguras habis cintaku. Menjadikanmu satu-satunya yang tinggal di singgasana hatiku.

Disini aku berdiri. Disebuah ruangan (yang luasnya kira-kira setengah dari Aula) yang dimana-mana dipenuhi dengan buku. Ya, perpustakaan. Kulirik jam ditanganku. Pukul 06.13. masih terlalu pagi memang. Dan aku sengaja berangkat lebih awal. Kamu pasti tau kan alasannya ?

Ya, Shilla.

Untunglah Mang Udin, penjaga sekolah bersedia membukakan pintu perpustakaan lebih awal 2 menit dari waktu sebenarnya.

Ku edarkan pandangan menyapu ruangan ini. Ruangan yang bahkan selama hampir 3 tahun di SMA tak pernah aku sambangi.  Aku bergidik, rada mistis juga berada didalam ruangan itu seorang diri. Rasa-rasanya seperti ada seseorang yang mengawasiku dari balik rak buku.

Ah apa-apan aku ini, cukup ber-imajinasi yang bukan-bukan. Oke aku akui, jika bukan karena Shilla, tak akan kulakukan pengorbanan seperti ini. Ini semata-mata hanya untuk mendapatka…

Kreeek.

Pintu perpustakaan terbuka, dan aku melihatnya. Melihatnya yang juga tengah melihatku. Mata kami bertemu dan kurasa, aku nyaman berada dalam ‘matanya’.

“Ehm, kamu ?” pekiknya, memecah keneningan dalam ruangan ini. Nampaknya Ia keheranan melihat ada makhluk lain dalam perpus sepagi ini.

“Iya, hehe” garing. Kalimat itu meluncur begitu saja. Entahlah, aku seperti kehilangan kata-kata begitu Ia ada didekatku. Biasanya tak seperti ini.

Ucapanku ditimpalinya dengan senyuman. Sederhana tapi mampu membuat jantungku berdegup 2 kali lebih cepat. Gadis itu melangkah ke salah satu rak. Memilah milih buku. Setelah dapat, Ia mendudukkan dirinya pada kursi diujung. Selisih 4 kursi dari kursi yang kududuki.

Hening. Itulah yang mengepung kami sekarang. Untuk kali pertama, aku kehabisan kata-kata didepan seorang gadis.

Terlintas ide yang ‘tak biasa’ dalam benakku. Meski rada aneh, tapi kuyakin ini berhasil. Aku berdiri untuk berpindah ke kursi yang lebih dekat dengan letak kursinya. Hanya 2 kursi yang menjadi jarak kami. Ia sempat melirikku saat aku bangkit, setelah itu perhatiannya kembali terpusat pada buku yang Ia baca.

Aku merogoh tas. Menyobek buku dengan tak kentara, lalu mengambil pulpen. Tak usah diberitahu, kamupun akan tau sendiri apa yang kulakukan dengan kedua benda tersebut. Yap. Menulis pesan.
Hei, bolehkah aku mendengar suaramu (lagi) ?
Aku Alvin dan aku ingin menjadi temanmu J

Lalu kusodorkan kertas itu ke Shilla. Bisa kulihat senyum khasnya mengembang tipis. Tak lama, Ia menyodorkan kertas itu kembali padaku.

Aneh, buat apa Shilla mengembalikan kertas itu jika tak ada sepatah katapun yang Ia tulis ? keningku berkerut. Dalam keadaan seperti itu, ku angkat kepalaku. Tepat memandangnya yang juga tengah memandangku.

Gadis itu tersenyum kala berkata “Kita teman”

**
Aku masih seperti hari kemarin. Dilibat rindu tak berkesudahan. Bayanganmu tetap saja menjadi pesona yang tak lelah kujamah dalam gundahku.

Aku mengetuk-ngetukkan kakiku ke lantai, petanda aku bosan. Bosan menunggu. Tapi tak bosan menungguinya. Perlu kau tau, sejak peristiwa di perpustakaan kemarin, aku makin giat mendekati Shilla. Hampir tiap waktu kosong aku luangkan untuk pergi ke perpustakaan. Untuk bertemu dengannya. Untuk menatapi pahatan sempurna di wajahnya. Untuk membiarkan diriku tenggelam dalam sapuan teduh mata beningnya. Untuk membuatku nyaman melihat senyum yang diurai lewat bibir tipisnya.

Dan kini, aku berdiri didepan kelasnya. Sepulang sekolah. Sudah sekitar 10 menit aku bertahan pada posisiku. Sengaja menungguinya yang tengah menjalankan tugas piket. Ia memang istimewa. Disaat semua siswa bahkan tak peduli dengan piket, Ia malah melakukan yang sebaliknya.

“Loh, kamu disini ? sejak kapan ?” pekiknya heran. Begitu melihat penampakanku didepan kelas. Rupanya Ia sudah selesai.

Aku tersenyum. “Sejak tadi”

“Oh, mau main basket ya ?” Shilla menoleh sekilas ke lapangan basket yang memang terletak tepat didepan kelasnya. “Tapi kok sepi ?” sambungnya.

Yaiyalah! Jelas saja sepi, aku membatin.

“Eh aku pulang dulu ya” pamitnya sebelum menunggu jawaban dariku, Ia berjalan melewatiku begitu saja. Tak mau membuat penantianku (selama 10 menit) sia-sia, segera kupanggil dia. “eng..Shill, aku..eee..aku mau ngajak kamu pulang bareng. Mau kan ?”

Shilla berbalik, rada tercengang. “Ngga ah, ngerepotin. Aku biasa pulang sendiri kok”

Ffuh, rada putus asa. Tapi Alvin tak boleh menyerah. “Ayolah Shill..temanmu ini pengen liat rumahmu” bujukku. Kami berjalan bersama secara beriringan.

“Haha Alvin Alvin, buat apa liat rumahku ? rumahku itu hanya rumah sederhana. Bukan rumah mewah layaknya istana kayak rumahmu” timpal Shilla.

Sial, aku salah menggunakan kata. Seharusnya kata ‘lihat’ kuganti dengan kata ‘tahu’.

“Oke, maksudnya aku pengen tau rumahmu. Ngga salahkan ?” Shilla menghentikan langkahnya sebentar, lalu menoleh padaku sebelum melanjutkan kembali langkahnya dan tersenyum.

“Untuk sekali ini aja ya” ceplosnya. Nyaris ku meninju udara karena senangnya.

**
CR-V silver ku berhenti tepat di depan rumah sederhana yang bukan terletak di perumahan mewah. Hanya di pemukiman penduduk. Rumah yang ber-cat krem itu menunjukkan suasana klasik  yang menenangkan. Tak mewah memang, namun bersih. Bisa dilihat dari terasnya. Bagian depannya saja sudah sebersih ini bagaimana dalamnya ? batinku.

“Duduk sini bentar ya. Aku panggilkan ibuku dulu” Shilla mempersilakanku duduk di kursi beranda. Perlu kau tau, sebenarnya niatku hanya untuk mengantarnya. Tapi begitu sampai dan melihat rumahnya, (sedikit ngelunjak) aku mulai memaksa Shilla untuk mampir sebentar. Dan yaaah, Shilla pun menyetujuinya.

Dan saat kami melangkah bersamaan menuju beranda, Shilla bercerita bahwa aku adalah teman pertama yang berkunjung ke rumahnya setelah kepindahannya di ibukota. Shilla juga bercerita bahwa sudah menjadi kebiasaan Ia mengenalkan teman-temannya pada sang Ibunda. Itu pula yang akan Ia lakukan padaku. Mengenalkanku didepan ibunya sebagai ‘teman’.

Yang kuharap suatu saat, aku kembali kesini dan dikenalkan dihadapan ibunya sebagai ‘pacar’.

“Vin, kenalin ini ibuku. Ibu, ini Alvin” teguran Shilla membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dan menyalami tangan wanita paruh baya berwajah ramah tersebut.

“Oh ini nak Alvin, yang sering kamu ceritakan itu Shilla ?” ibunya menceplos. Membuat mata Shilla 2x lebih bulat dari biasanya. “Psst, ibu apa-apaan sih” elaknya malu.

Aku hanya tersenyum. Sedikit GR boleh kan ?


“Hehe pake malu-malu lagi. Udah sana bikin minum” suruh wanita itu. Shilla dengan wajah yang masih cemberut, bergegas ke dapur. Tinggalah aku dan ibunda Shilla.

Wanita itu menghela nafas berat. “Nak Alvin, makasih ya sudah mau menjadi temannya Shilla. Sejak dulu putri Ibu ini memang pemalu. Apalagi sejak mengikuti bapaknya dipindah tugas kesini. Walah, sudah pasti Shilla merasa minder dengan pergaulan di kota besar. Maka dari itu nak Alvin, ibu minta tolong ya jaga Shilla. Memang susah mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjaga putri ibu”

Alisku terangkat satu. Orang yang dipercaya ?. “Umm..maaf bu, tapi kenapa ibu mempercayakan putri ibu ke saya ? bukannya saya juga baru mengenal ibu hari ini ?”

Ibunda Shilla tersenyum. “Entahlah nak Alvin, rasa-rasanya ibu sudah mengenalmu lama. Sehingga kepercayaan itu menancap kuat pada dirimu. Atau..kamu ndak mau menjaga putri ibu ? setidaknya jaga dia sebagai teman barumu pun tidak apa-apa”
“eh bukan Bu, bukan. Saya menghargai sekali kepercayaan yang sudah ibu kasih ke saya. Saya janji akan jaga Shilla selama disini” janjiku.

Begitu mengucap janji itu, aku merinding. Entahlah, arah percakapan kami memang sudah terlalu jauh. Jujur aku masih heran. Kenapa dengan mudahnya seorang Ibu mempercayakan anak gadisnya pada lelaki yang kurang dari sejam dikenalnya ?

Tapi toh, aku tak berniat jahat pada Shilla. Aku akan menjaganya. Bahkan melebihi aku menjaga diriku sendiri.

Karena aku mencintainya..

**
Berbulan-bulan, kubertahan dengan menikmati apapun yang menjadi luapan hati. Mencari-cari sedalam apa rindu ini menjadi nyata, untukmu.

Aku menuliskan pesan diatas saat kami sedang duduk berjarak 3 kursi di perpustakaan (sejak itu aku mulai mengambil kesimpulan bahwa tempat favorit sekaligus tempat bersejarah aku dengannya adalah perpustakaan).

Beberapa waktu kemudian Shilla mengembalikan kertas tersebut. Berbeda dengan waktu dulu, kali ini Ia selipkan kata-kata balasan yang membuat aliran darahku melaju tak normal.

Jarak yang menyekat, tak berarti apa-apa kala hati sudah bicara tentangku, tentangmu. Semua akan menyatu dengan sendirinya.

Otakku berfikir keras, mencoba menghapalkan kata-kata puitis dalam buku ‘kumpulan 1000 puisi cinta’ yang berhasil kutemukan di loteng. Aha, aku dapat.

Apalagi yang bisa kuraba saat kita bertemu ? selain sejuknya matamu, renyahnya tawamu. Aku menantimu.

Ku sodorkan kertas itu. Menanti balasan dari sosok itu. Tak lama, kertas itupun datang.

Aku..belum mengerti

Ku perjelas perasaanku lewat kata-kata indah.

Wajahmu selalu menghantui malam-malamku. Aku ingin kamu ada dalam kesepianku dan keputusasaanku. Semua adalah nyata. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Dan aku percaya, takdir tak dapat berdusta. Bagaimana denganmu ?

Kau boleh menganggapku gombal. Tapi tidak, karena apa yang kutulis benar-benar ungkapan perasaanku padanya. Seutuhnya tanpa dilebih-lebihkan.

Shilla masih memegangi pulpennya. Tampaknya Ia bingung mau menjawab apa. Seumur-umur aku belum pernah ditolak. Tapi yaah, jika nantinya aku ditolak, mungkin sosok Shilla tak akan pernah kulupakan.
Krriiing..Krriiing..
Oh shit! Bel masuk bordering disaat yang kurang tepat. Bisa kulihat Shilla bangkit  dari duduknya sambil membawa kertas tadi.

“Balasannya aku tulis nanti sepulang sekolah, ok ?” Shilla mengadakan kesepakatan. Mau tak mau aku mengangguk. Daaaaan, itu artinya dia memaksaku menahan nafas selama hampir 2 jam sebelum bel pulang berdering.

**
Leherku terjulur-julur layaknya jerapah, mata sipitku menyapu keseluruh penjuru. Sosok yang kucari tak terlihat. Padahal sudah sejak 2 jam yang lalu aku menungguinya. Menantikan saat-saat ini. Ah, nyaris saja aku emosi sendiri saat tiba-tiba datang seorang perempuan –entahsiapa-yang menghampiriku sembari menyerahkan secarik kertas.

“Dari Shilla. Tadi dia pulang duluan, katanya perutnya sakit” terang gadis itu. Senyumku merekah begitu mendengar kertas itu dari Shilla. Setelah mengucap terimakasih, segera kubuka kertas pesan itu.

Aku masih dililit tanya tentang cintamu. Sampai datang bayangmu yang membuyarkan keraguanku. Aku menunggu kejujuran hatimu. Maaf, aku tak butuh janji. Aku butuh bukti. Jika pengakuan hatimu benar adanya, datanglah sore ini. Dan bernyanyilah lagu cinta. Didepanku J

**
Lengkap dengan gitar. Jam 4 sore ini aku sampai didepan teras rumah Shilla. Bersiap membuktikan didepannya. Menjawab tantangannya.

Kutuliskan pesan singkat untuknya. Bertuliskan : ‘Keluar, dan kamu akan tau kalau aku bukan pembual’

Tak lama, pintu terbuka. tepat! Kupetik gitar saat melihatnya muncul dari balik pintu.

Kaulah darahku, juga nadiku
Kaulah nafasku, juga jantungku
Engkaulah hatiku, dan juga jiwaku
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karenamu..
Aku mau disisa waktuku, bersamamu..
Hanya bersamamu..

Kaulah senyumku, juga tawaku
Kaulah damaiku, juga bahagiaku
Engkaulah teduhku, tempatku bernaung
Aku mau hidup denganmu, aku mau matipun karenamu..
Aku mau disisa waktuku, bersamamu..

Hanya bersamamu..

Aku tak menyelesaikan lagu itu karena Shilla memelukku erat. Tak ada kata yang terlontar dari bibirnya. Hanya saja, setengah menit setelah aku sampai di rumah, ponselku berdering.

Sender : Ashillove
Jika ini sudah takdirnya, aku akan berjalan disisimu.
Tanpa ragu. Karena aku percaya, cintamu bukan sandiwara.
Genggamlah tanganku, aku memilihmu J

Yeah!! Ku banting tubuhku ke ranjang. Rasa-rasanya aku ingin meledak saking senangnya. Penantianku tak sia-sia. Ku dekap ponsel yang masih memampangkan pesan singkatnya. Kubiarkan keindahan itu ikut melayang bersamaku ke alam mimpi karena aku tertidur setelah itu.

**
Cinta bersambut, bukan akhir dari kisahku. Karena akupun menyadari, Romeo & Juliet yang saling mencintaipun harus menghadapi rintangan yang datang dari berbagai pihak. Jalan didepan lurus, tak ada belokan, memang. Namun, masih ada kerikil kerikil yang siap menggoyahkan perjalananku dengannya..nanti.

“Apa ? lo jadian sama Shilla ? wuihh gila Alvin mamen, lo emang don juan! Cewe manapun bisa takluk sama lo!” puji Rio suatu hari kala aku bicara dengannya di kelas. Memberitahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan gadis itu.

Saat itu masih pagi. Dikelas hanya ada aku, Rio, dan beberapa siswa lain yang segan untuk mendengarkan pembicaraan kami, jadi mereka lebih memilih keluar. Jadilah dikelas hanya ada aku dan karibku.

“Yoi, tuhkan gue bilang juga apa! Cewe manapun, bisa gue dapetin. Dan dalam waktu..ngga lama, gue bisa buktiin kan ke lo. Gue dapet kepercayaannya Shilla. Dan karena lo udah kalah, lo harus traktir gue!” paksaku. Rio tak menanggapi, aneh sekali. Biasanya jika aku meminta traktir, dia pasti akan menoyor kepalaku.

Tapi ini beda, Rio malah memandang kearah lain. Kearah pintu. Karena aku duduk membelakangi pintu, aku tak tahu Rio menatap apa/siapa.

“Vin, dia..” Rio menunjuk arah yang ditatapnya. Aku menoleh. Shilla, tengah berdiri di ambang pintu. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi padanya-selanjutnya-karena Ia lebih dulu melarikan diri. Aku masih diam. Bimbang.

“Vin, lo ngga kejar Shilla ?” Rio berkoar. Aku makin bingung. “emang kenapa gue harus kejar ?”

Rio menepuk jidatnya frustasi. “Bego, dia denger percakapan kita dan pasti beranggapan kalo lo jadiin dia taruhan sama gue”

Aku mencerna betul kata-kata Rio, sekaligus mengingat-ingat percakapanku tadi. Memang, terlintas seperti baru memenangkan taruhan. Oh tidak, aku tak mau membuat Shilla menangis apalagi sampai melukai hatinya.

Aku pun berlari menyusulnya. Tepat dugaanku, Ia berada di perpus. Oleh karena perpustakaan masih terlalu pagi sehingga Bu Laela-penjaga perpus-belum datang, aku bisa berbicara dengan Shilla ditempat itu.

“Gausah, aku pikir kamu tulus. Tapi ternyata semua palsu ? aku udah denger tentang kamu yang konon katanya playboy. Apa yang kulihat dan kudengar tadi, cukup buat kepercayaanku hilang ke kamu. Salah dugaanku kalo kamu udah berubah. Salah!” jelas Shilla.

Ck, sialnya disaat seperti ini aku malah justru kehilangan kata-kata. Oke Shilla, daripada aku terus membiarkanmu begini dalam kesalahpahaman, lebih baik kupanggil satu-satunya saksi, Rio.

“..gitu Shill ceritanya. Sumpah pocong berani dah gue kalo lo tetep ga percaya. Gue cerita apa adanya, ga dilebih-lebihin apalagi dikurang-kurangin. Gue sama Alvin udah sahabatan dari orok. Gue kenal Alvin luar-dalem. Begitu sebaliknya. Pliis Shill, percaya sama Alvin ya. Kalo ngga Alvin bakal gantung gue gara-gara udah bikin lo putus sama dia. Percaya deh Shill, Alvin beneran udah cinta mati banget sama lo”

Mati-matian aku menahan tawa mendengar bujukan Rio. Saat ini aku mencuri dengar dari kelas Shilla. Rio mengajaknya ngobrol di kelas Shilla pada saat jam pulang sekolah. Ya Tuhan, moga saja Shilla percaya dengan ucapan Rio.

“Beneran ? ngga boong ?” aku bisa mendengar suara Shilla.

“Busung deh! Samber gledek” dan aku bisa mendengar Shilla tertawa.

“Ya ya aku percaya” timpal Shilla pada akhirnya.

“Jadi, itu artinya lo udah maafin Alvin ?” tanya Rio. Jantungku berdegup cepat. Takut-takut kalo misalnya Shilla tak mempercayaiku lagi.

“Iya, aku maafin dia” yeaaaah!! Aku bersorak dalam hati.

“Ffuh gitu kek dari tadi. Untung aja gue berhasil buat lo baikan sama Alvin. Kalo gak, beuh udah ditindas gue sama Alvin” sungut Rio. Aaarrrgh Riooo…lo emang karib gue paling setia, paling sejati!! Tengkyuuuu Bro !! gue utang budi sama lo J

**
Jika sebelumnya aku melayang kala melihatnya mengurai tawa, kini apa yang kulakukan jika Ia datang ke hadapanku dengan berhias Kristal bening di wajahnya ? mungkin, akan kusewakan bahuku untuknya. Sebagai tempat bersandar. Aku tak akan mengucap kata palsu untuk menghilangkan dukanya. Aku akan..ikut menangis bersamanya

“Alvin…” desisnya pelan. Bimbang jika dalam situasi seperti ini. Aku yakin Shilla sudah tak mampu lagi menopang badannya. Oleh karena itu aku menuntunnya untuk duduk di kursi yang terletak didepan ICU.

“Gimana kalo bapak sama Ibu ngga selamet ?” aku menoleh, memandang petaan duka yang tergambar jelas pada wajah ayu nya. Aku belum pernah melihatnya selemah ini. Tess, linangan airmatanya jatuh dan menetes ke punggung tanganku yang tengah menggenggam tangannya. Tidak, tidak akan kubiarkan Ia menangis. Kuputuskan untuk menaruh kepalanya di bahuku. Kudekap dia, berharap dengan demikian, aku bisa menstransfer ketegaran dalam dirinya.

Dugaanku salah, karena tangisnya bertambah deras. Aku memahami betul kondisinya. Siapa yang tidak khawatir jika orang tua berada di dalam ruang ICU untuk melawan maut ?
Kejadiannya tak kurang dari 10 jam yang lalu. Saat bapak & Ibu gadisku berpamitan untuk berkunjung ke Surabaya, menengok nenek Shilla yang kabarnya tengah sakit keras. Aku turut mengantar mereka menggunakan mobilku menuju terminal.

Tapi naas, karena 3 jam setelah keberangkatan, Bus yang ditumpangi mengalami kecelakaan beruntun. Menyebabkan Bus terguling. Dan semua berakhir disini, di rumah sakit. Lebih tepatnya, di ruang ICU.

Shilla mulai tenang. Kemudian dokter keluar dari ruangan itu. Membuat kami dengan cepat berdiri guna mengetahui kabar tentang ayah & ibu Shilla.

“Gimana dok keadaan Ayah sama Ibu saya ?” tanya Shilla. Aku bisa merasakan badannya yang bergetar.

Dokter tersebut menatap Shilla dan aku secara bergantian. Beliau menghela nafas berat. Sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Siapapun tahu bahwa itu jawaban terburuk.

Sedetik setelah itu, aku melihat Shilla yang sangat rapuh.

**
Aku berikrar dalam hati. Mengingat segala janji yang pernah terucap. Bahwa kebahagiaanmu adalah segalanya. Tak apa jika harus merantai nyawa, asalkan aku bisa mengembalikan senyummu, sama seperti dulu.

Aku baru ingat, perihal percakapan pertama antara Ibunda Shilla denganku dulu. Kenapa Beliau langsung mempercayakanku untuk menjaga putrinya ? aku mulai mengerti sekarang. Ternyata itu bukan hanya sekedar permintaan. Tetapi amanat. Amanat sebelum beliau pergi. Sekalipun aku tak pernah berharap akhirnya begini, tapi aku berjanji. Berjanji atas nama diriku sendiri.

Aku akan menjaganya, sepenuh hatiku. Segenap jiwaku. Dan seluruh ragaku.

Tanahnya masih merah. Bunga-bunga yang ditabur diatasnya pun masih segar. makam tersebut masih basah. Jelas saja, karena baru sejam yang lalu pemakaman berlangsung. 

Para pelayat sudah pulang. Semua. Tak ada siapapun sejauh mata memandang. Hanya ada aku, dan Shilla. Rio pulang 5 menit yang lalu.

“Vin, kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku ngga papa kok sendirian disini” tutur Shilla dalam tangisnya.

“Ngga, aku akan terus disini temenin kamu. Sekalipun itu bakal sehari semalem” jawabku. Tak ada sedikitpun niatku meninggalkannya sendiri. Terlebih disaat kondisinya sedang labil seperti sekarang. Seharian ini Shilla belum makan. Aku dan beberapa kerabatnya sudah membujuknya berkali-kali. Tapi duka dan kesedihan telah memenangkan ego gadis itu.

“Vin, kalo ngga ada Bapak sama Ibu, aku hidup sama siapa ? aku sendirian Vin. Aku ngga mungkin hidup disini sendiri. Mungkin aku bakal pulang ke Surabaya, tinggal sama nenek” ungkapnya. Membuatku tercengang.

Tidak, aku tak boleh membiarkannya pergi. Terdengar egois mungkin. Tapi bagaimana bisa aku menjaganya jika Ia terlalu jauh dalam pandanganku ?

“Ssst, kamu ngga boleh bicara begitu. Kan disini masih ada aku. Masih ada Rio yang siap bantu kita. Bantu kamu. Kita semua disini ada untuk kamu” tuturku sembari merekatkan genggamanku pada tangannya.

Ia menoleh. “Tapi itu bakal ngerepotin kamu sama Rio. Kalian punya kehidupan sendiri. Apalagi kurang dari sebulan ini UAN dateng. Percayalah Vin, aku hanya akan jadi beban buat kamu”

“Plis jangan ngomong begitu. Oke, masalah kepindahan dan segalanya kita bicarain nanti setelah lulus. Yah ?” bujukku. Shilla mengangguk. Aku menyeka airmata yang mengalir dari mata beningnya. Sekali lagi, aku membiarkan bahuku menjadi tempatnya bersandar.

Aku berharap, ini untuk terakhir kalinya bahuku menjadi tempatnya menangis.

**
Kami lulus dengan nilai memuaskan. Aku berhasil mengembalikan cahaya semangat dalam diri gadis itu. Namun Shilla masih berkeinginan untuk pulang kampung. Alasannya masih sama. Yaitu tak punya siapa-siapa di Jakarta.

“Kalo di Surabaya kan aku ada nenek, ada paman dan bibik. Mereka keluargaku Vin. Dan aku nyaman kalo tinggal sama keluargaku” ucapnya suatu hari, saat aku mengungkit masalah kepindahannya.

Perkataannya tentang keluarga, membuat sel-sel otakku terangsang untuk membuat satu ide. Ide agar Shilla mengurungkan niatnya pergi. Ide supaya aku bisa terus mengawasinya dalam pandanganku. Untuk menjaganya..

**
Mata beningnya memandang tiap-tiap pepohonan yang kami lewati dari balik kaca mobil. Hari ini, sebelum senja aku mengajaknya ke puncak. Ada yang ingin aku utarakan padanya, ditempat yang tak biasa.

“Kita mo kemana sih Vin ?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum jahil. “Ada aja. Ntar juga kamu tau”

Shilla mengerucutkan bibirnya. Memaksaku mencubit pipinya lembut karena gemas.

Beberapa waktu kemudian.  

Aku menghentikan mobilku didepan Villa milik keluargaku. Aku tak merancang makan malam romantis di restoran mewah. Sederhana saja, bukan karena gadisku ini tidak pantas mendapat perlakuan mewah. Tapi sederhana karena sesuai dengan pelambangan dirinya yang juga sederhana.

“Nah udah sampai. Tutup mata kamu” suruhku. Shilla menurut saja walau sempat terucap kalimat protes. Pelan-pelan, aku menuntunnya keluar mobil. Menuntunnya memasuki Villa yang gelap tanpa lampu.

Tepat didepan pintu, aku menyuruh Shilla membuka mata. “Buka mata kamu”
Shilla membuka matanya, dan terpesona melihat ratusan lilin yang disusun membentuk jalan setepak. Menuju tangga.

“Ini..ini semua…”

“Yeah, special for you” bisikku. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Andai kamu tau, ini bukanlah kejutan yang sebenarnya.

“Keatas yuk” ajakku.  Ketika sampai di balkon (yang sudah kuhias juga dengan ratusan lilin membentuk jantung hati) Shilla makin terpesona. Tepat! Senja datang. Goresan ‘pena’tak kasat mata yang mengubah langit biru menjadi warna jingga.

Tanpa kentara, tanganku bergerak mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Yang akan menjadi kejutan sebenarnya untuk Shilla. Kusembunyikan benda itu sebelum terlihat olehnya.

“Shill..” panggilku. Ia menoleh. “Ya”

“Jejakmu telah sampai di hari baru. Lupakan segala duka yang pernah tergores. Gantikan dengan semangat. Happy birthday”

Shilla terbelalak. “Kamu inget ulang tahun aku ?”

“Iyalah. Dan karna hari ini adalah hari special..” Aku mengeluarkan benda tersebut dari balik punggungku. Lalu berlutut dihadapannya.

“Would you marry me ?” pintaku. Shilla menangis. Aku lihat itu. Aku lihat pancaran kebahagiaan dari matanya.

Ia tersenyum. Senyum yang tak pernah bisa kulupakan dalam hidupku.
“Aku ngga akan tega nolak kamu..”

**
Aku berhasil membawanya masuk kedalam keluargaku. Menjadi bagian dari kami. Begitu pula sebaliknya. Kata ‘keluarga’ membuatnya bertahan untuk tetap tinggal bersamaku. Ia benar-benar mengurungkan niatnya pulang ke kampung halamannya.

Sekarang, tidak ada kalimat  ‘aku tak punya siapa-siapa’ yang keluar dari bibirnya. Karena Ia tahu, Shilla punya aku dan keluargaku yang siap menerima apa adanya.

“Kamu selalu menghadirkan getar-getar indah yang kuiba menjadi bahagia. Di setiap pagi dan di setiap tarian debu dan tetes embun yang menyentuh dedaunan. Ehm, udah pagi, bangun Shill. Kita kan ada janji ke rumah Om Edi buat silaturahmi” tegurku lembut.

Shilla menggeliat. Lalu membuka matanya. “Oh iya lupa. Yaudah aku siap-siap dulu”

“Jangan lupa mandi, ntar Cuma cuci muka doang lagi. Kayak biasanya” celaku. Shilla meninju bahuku pelan. “Enak aja. Kamu tuh yang jarang mandi”

Aku tertawa bersamanya. Harapanku saat ini, agar Tuhan tak merenggut kebahagiaan ini. Aku senang, karena ikatan suci kami dapat bertahan sampai pada bulan ke-8. Tepat hari ini.

**
Pagi itu kami menuju Villa Om Edi (Om Edi merupakan adik bungsu Papi) terletak di puncak.  Karena musim liburan, Om Edi dan keluarganya menempati Villa mereka, biasalah alasan refreshing.

Jalan menuju puncak basah dan licin akibat guyuran hujan sekitar setengah jam yang lalu. Sekarang hanya tersisa rintik-rintik gerimis.  Tak biasanya pagi ini mendung.

“Vin, pelan-pelan dong bawa mobilnya” Shilla mengingatkan. Aku hanya tersenyum. Kuturuti keinginannya. Aku menurunkan kecepatan mobil. Tanganku menggenggam tangan kanannya

.Detik, menit kedua, ketiga. Dan memasuki menit keempat segalanya mulai terasa tak wajar. Kala kulihat sebuah Truk bermuatan muncul tiba-tiba dari arah berlawanan dengan kecepatan yang tak biasa. Terjepit, aku bingung. Bingung.

Kuputar stir. Aku bisa merasakan mobilku terbalik. Bisa kurasakan tangan Shilla mengganggam tanganku begitu kencang. Bisa kudengar teriakan panjangnya. Dan, bisa kulihat pintu kematian terbuka didepan kami.

**
Ketika bahagia bersemu, ada kalanya kesedihan datang mengusik. Menabur tetes duka yang menyayatmu. Tak masalah jika Yang Kuasa mengambil fisiknya, asal jangan jiwanya..

 “Kecelakaan itu mengakibatkan bayinya meninggal” ucap dokter. Aku terperanjat. “Bayi ?”

Dokter tersebut mengangguk. “Dari hasil pemeriksaan, kami lihat usia kandungan pasien memasuki umur 2 minggu. Oleh karena usia yang sangat rentan, bayinya meninggal dalam rahim saat terjadi benturan. Ditambah kondisi kejiwaan pasien yang nampaknya masih shock. Perlu anda ketahui, kecelakaan itu sangat parah. Anda beruntung karena saat mobil terlempar ke jurang, Anda terlempar keluar. Tapi istri Anda ? 80% kecelakaan itu berdampak padanya”

Jantungku mulai berdegup tak normal. “Dampaknya apa saja dok ?”

“Pasien mengalami benturan yang cukup keras. Tepat pada rahim dan saraf tulang belakang pada leher. Akibat pertama, benturan pada rahim ditambah traumatic dan juga keguguran dalam usia dini menyebabkan pasien memiliki kemungkinan kecil untuk punya anak lagi” jelas dokter.

Aku tak tau apakah aku masih mampu mendengarkan akibat yang kedua ? setelah akibat pertama sungguh menyakitkan ? tapi tak apa. Yang terpenting aku bisa terus bersamanya

“Lalu, yang kedua apa dok ?” tanyaku datar.

“Pasien mengalami kelumpuhan yang istilah medisnya sering disebut Quadriplegia. Yaitu kelumpuhan disebabkan oleh penyakit atau cedera pada bagian saraf tulang belakang bagian leher , Kerusakan pada otak atau syaraf yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh penggunaan semua anggota badan dan dada. Intinya, penderita mengalami kelumpuhan dari leher sampai kebawah” terang dokter. Tubuhku membeku.

“Dalam beberapa kasus, penderita Quadriplegia bisa disembuhkan melalui terapi. Akan tetapi tergantung saraf yang rusak itu. tetap harus bersabar ya…” ungkap sang dokter.

Kakiku bergetar saat mendengar vonis dokter. Yang mengatakan bahwa Shilla..Ah, aku tak mampu mengingat semua itu.

Percuma saja, sekeras apapun usahaku untuk mengabaikan, saraf-saraf otakku terus mengingat vonis dokter tadi. Ucapan Pria berjas putih yang terus bergaung di telingaku.

Aku menyesal. Sungguh menyesal. Kalau tau akibatnya akan seperti ini, tidak akan pernah aku bawa Shilla ke puncak. Ah, tapi siapa manusia yang bisa melawan takdir ? aku yakin Shilla pasti akan sangat shock mendengar 2 kabar yang begitu menyakitkan ini.

Tuhan, kuatkanlah Ia..

**
Sesakit apapun luka menyayat hatimu, ijinkan aku untuk menjadi satu-satunya lelaki yang membalutnya. Lupakan semua cela yang ada padamu. Karena perlu kau tahu, kau terlalu sempurna dimataku hingga segala cacat celamu tak terlihat J

Shilla jauh lebih tegar dari apa yang kubayangkan. Ia hanya menangis sekali saat aku memberi tahu padanya efek akibat kecelakaan itu.

“Vin..” panggilnya lirih saat aku mengajaknya ke taman rumah sakit. Aku menimpali. “Ya ?”

“Kamu boleh kok ninggalin aku. Kamu boleh kok cari cewe lain yang lebih dari aku. Kamu pantes dapetin itu” tutur Shilla. Aku tercengang. “Tarik kata-katamu, aku ngga akan pernah ninggalin kamu untuk alesan apapun. Kamu lupa Shill ? aku udah pernah janji sama ibu kamu untuk menjaga kamu. Kamu ngga mau kan aku dipandang pecundang sama Ibu kamu ?”

Shilla tersenyum getir. “Tapi ini kan aku yang nyuruh. Demi kebahagiaan kamu”

Aku tertawa, tertawa masam. “Bahagia ? pikiran kamu itu pendek ya. Letak kebahagiaan aku Cuma pada kamu. Ngga ada dan ngga akan ada penggantinya”

Senyum getir itu hilang. Digantikan oleh raut sedih yang membuat matanya berkaca-kaca. “Tapi aku lumpuh Vin. Gabisa kasih kamu keturunan juga. Aku ngga berguna, Cuma bisa nyusahin. Kelumpuhanku itu parah Vin, aku ngga bisa ngelakuin apa-apa tanpa bantuan orang lain, aku gak bis…”

“Sssttt..” Aku menaruh telunjukku di bibirnya. Mengisyaratkan supaya diam. “Justru karena kamu ngga bisa ngelakuin apa-apa itulah, yang buat aku untuk bertahan sama kamu. Aku ngga bisa bayangin keadaan kamu tanpa aku. Siapa yang mau ngurus kamu”

Shilla melirik kearah lain. “Aku masih punya nenek di Surabaya Vin. Aku bisa tinggal sama beliau”

“Hei, are you kidding ? kamu inget usia nenek kamu yang sudah renta ? jangan egois Shill, nenek kamu aja butuh bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-harinya. Jangan tambah bebannya dengan harus mengurusi kamu!” kataku sedikit keras. Aku tak bermaksud membentaknya.  Tapi kulihat Ia menangis.

“Maaf Shill, aku ngga bermaksud ngatur hidup kamu. Aku Cuma pengen kamu sadar kalo kamu punya aku. Buat apa aku yang selama ini ada disamping kamu ? kalo kamu pikir aku cinta kamu karena fisik kamu aja, itu salah. Salah besar. Kamu inget Rio pernah bilang ke kamu bahwa aku cinta mati sama kamu ? itu ngga boong. Itu bener. Aku mohon Shill, percayakan diri kamu untuk aku rawat. Aku janji ngga akan ninggalin kamu gimanapun keadaan kamu” terangku.

“Bener ?” aku mengangguk mantap. “Tapi kalo missal kamu jenuh, aku bersedia kapan aja untuk ditinggal” sambungnya. Rada gregetan jika Shilla terus-menerus merendahkan dirinya seperti itu.

“Terserah apa katamu. Kita liat ke depan. Jangan tengok kebelakang ya, kamu tetap Ashilla yang dulu di mata Alvin” Shilla tersenyum. Aku memeluknya erat.

**
Jika Tuhan berkehendak, aku bahkan rela bertukar-posisi dengan Shilla. Untuk menggantikan pedih itu. Aku tak rela melihatnya murung terus diatas kursi roda. 

10 hari sudah Shilla keluar dari rumah sakit. Aku yang mengurusinya setiap hari. Aku bahkan rela menunda kuliahku hingga setahun kedepan demi memusatkan perhatianku pada Shilla. Walau Shilla sempat menentang habis-habisan.

“Hei, makan dulu ya cantik” pagi itu aku memecah keheningan. Dengan membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih, beserta obat-obatan. Kusodorkan nampan itu dihadapannya, berharap semangat memancar dari kedua bola bening itu.

“Aku ngga mau makan” tolaknya halus.

Nafasku makin berat. “Ayolah Shill. Ini demi kesehatan kamu. Ga mau buat aku sedih kan ? 5-10 suap aja, terus minum obat. Ya ?”

Shilla tak bergeming. Aku anggap itu persetujuan. Kucoba untuk menyuapkan sesendok bubur. Shilla mau membuka mulutnya. Aku bahagia kala itu.


Rio sering datang ke rumah guna menengok Shilla. Awalnya Rio ikut berduka. Namun aku peringatkan padanya agar tak menunjukkan kesedihan itu didepan Shilla. Rio menurut. Didepan Shilla, Rio amsih sama seperti Rio yang biasanya. Ceria dan selalu melontarkan candaan-candaan yang membuat Shilla melukiskan senyum tipis. Walau tak sampai terbahak-bahak.

“Sudah waktunya tidur” jam 9 malam. Aku mendorong kursi rodanya dari balkon menuju tempat tidur. Aku menggendongnya dan meletakkan Shilla pelan diatas ranjang.

“Makasih untuk segalanya” bisik Shilla. Sebulir Kristal bening mengalir dari sudut matanya. Aku menyekanya sembari tersenyum.

“Apapun untukmu. Karena kamu adalah hidup dan matiku”

Aku mengakhirinya dengan kecupan pada keningnya. Sampai kapapunpun aku berjanji akan menjaga Shilla selamanya.

-TAMAT-