Selasa, 02 Agustus 2011

Dan..Ternyata Cinta -Short Story-

Dan Ternyata Cinta tak harus ditujukan untuk yang terkasih kan ? tapi juga untuk yang mengasihi..

Namaku Larissa Saffana Arif. Kalian bisa memanggilku Acha. Aku seorang gadis remaja yang baru menginjak bangku 2 SMA.  Di masa putih Abu-Abu yang (katanya) merupakan masa terindah dalam periode-remaja-menuju-masa-dewasa. Karena di masa ini, seseorang akan lebih mendalami segala masalah yang mereka hadapi. Entah itu masalah keluarga, persahabatan, dan..cinta.

Cinta ? apa itu cinta ? makanan jenis apa ?
Hey aku tak becanda. Aku benar-benar belum mengerti, belum merasakan, belum mengetahui segala tentang cinta. Sejak dulu, aku biasa saja jika bertemu dengan mahkluk Adam. Tak ada rasa khusus yang bergetar-getar di ulu hatiku.

Tak ada.

Jangan bilang aku mengalami keterlambatan masa puber! Aku gak suka  dikatai begitu. Meski banyak teman-teman perempuanku yang bilang begitu. Idih, mentang-mentang mereka sudah punya gandengan.

Tapi aku tak peduli. Menurutku jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan. Jomblo bukan berarti gak laku kan ? jomblo hanyalah masalah waktu.

Yap! Masalah waktu. Hingga menunggu waktu yang tepat kapan Makhluk Adam yang tepat datang dan menggetarkan rasa-tak-dapat-diterka disini, di dadaku.

Aku tak mengerti, tapi saat waktu itu tiba, aku benar-benar merasakan sesuatu yang kusebut tadi. Rasa-tak-dapat-diterka.

Saat melihatnya. Bukan, bukan cinta pada pandangan pertama atau apalah itu istilahnya. Tapi, saat melihatnya-untuk-kali-pertama. Aku menemukan pribadi lain dalam dirinya. Yang berbeda..

*

“Anak-anak, kita kedatangan murid baru dari Palu. Hey, ngapain kamu tetep disitu ? ayo masuk” Bu Ira, kepala sekolah sekaligus guru Matematika menegur seseorang yang malah, asik berdiri didepan kelas.

Terdengar derap kaki yang makin keras seiring dekatnya lokasi si empunya kaki. Hingga Ia berhenti tepat di sebelah Bu Ira.

Membelalakkan mataku yang lebar, itulah reaksi pertama saat aku melihatnya. Seorang siswa bertubuh tinggi proposional dengan gaya yang..bisa kubilang keren. Maksudnya, dia bahkan tak mencoba memasukkan ujung seragamnya yang keluar tanpa aturan. Padahal kan disampingnya jelas-jelas ada Bu Ira.

Dan benar saja, baru kupikirkan masalah kerapiannya. 5 detik berselang, Bu Ira berdehem.
“Rapikan seragam kamu. Pakai dasi. Dan setelah itu, perkenalkan diri kamu”

Ia hanya mengangguk cuek. Tanpa memandang Bu Ira. Kulihat Ia hanya melipat ujung seragamnya kedalam. Catat, MELIPAT. Bukan MEMASUKKAN.
“Sudah ?” teliti Bu Ira. Lagi-lagi Ia hanya mengangguk. Ck, rada gregetan aku. Tampaknya suaranya begitu mahal ya ?

“Oke, kalau begitu perkenalkan diri kamu. Asal sekolah kamu. Dan..alasan kamu pindah kesini” perintah Bu Ira.

Ini saat yang kutunggu, jujur aku penasaran. Seberapa bagus sih suaranya yang hampir 10 menit didepan kelas, tak kunjung juga kudengar suaranya ?

“Gue Alvin. Alvin Jonathan. Pindahan dari SMA…” Ia menyebutkan nama sekolahnya terdahulu. “..gue pindah kesini karna ikut bokap”

Gue ? bokap ? harus aku akui Ia cukup..belagu mungkin. Dimulai dari penampilan dan gaya yang semaunya. Dan sekarang, perkenalan pun harus menggunakan bahasa pergaulan seperti itu ? aku saja yang sejak bayi tinggal di Jakarta, belum terbiasa menggunakan kata ‘gue-lo’.

“Oia, Alvin ini setahun lebih tua dari kalian. Karena Ia berhenti sekolah setahun. Dan baru melanjutkan kelas 2 pada tahun ini. Ibu harap, kalian semua bisa berteman baik” bimbing Bu Ira.

Koreksi aku jika aku salah dengar. Benarkah ? Alvin setahun lebih tua dari kami ? haruskah kami memanggilnya kakak ? pantas saja tubuhnya terlihat lebih besar dari kebanyakan cowo dikelasku.

Bu Ira berpesan pada Alvin untuk memilih sendiri tempat duduknya. Dan setelah itu, kepala sekolah kami pun melenggang keluar kelas.

Si Murid Baru itu melangkah melewati jalan disela-sela meja. Melewati barisanku. Melewati kursiku. Dan..aku bisa dengar suara tas ransel yang dibanting asal diatas meja. Oh God, jangan-jangan Ia duduk tepat dibelakangku.

“Eh, Pon pinjem penggaris dong!” teriakku pada Nyopon yang duduk di meja pada barisan yang sama denganku. Aku berpura-pura. Hanya untuk menoleh sekilas. Memastikan apakah Ia benar-benar duduk di belakangku.

Tuhkan! Aku bisa melihat bayangannya melalui ekor mataku. Yang sepertinya sedang sibuk mengoperasikan I-pod di tangannya.

Meja dibelakangku memang sudah 2 minggu ini ditinggal pemiliknya. Si Lintar, yang harus rawat inap akibat Demam Berdarah. Sementara teman sebangkunya, si Daud. Lebih memilih mengungsi bersama Nyopon yang memang, duduk sendiri.

“Cha, gue nyalin PR IPS dong” pinta Ify, karibku yang duduk se-meja denganku .

“Ambil aja di tas” jawabku asal.

Selanjutnya, tak ada yang kukerjakan karena kelas menjadi riuh akibat jam 1-3 yang kosong. Bu winda, guru PKN yang seharusnya mengisi, malah pergi entah kemana. Dan melimpahkan tugas yang tak ada duanya. Membuat otak kami makin kriting.

“Hei, gue Rizky. Boleh gue duduk sama lo ? disini ?” Aku bisa mendengar suara Rizky. Dia adalah ketua kelas di kelas kami. Terkenal ramah dan santun. Aku menoleh sekilas. Rupanya sang ketua kelas sedang mencoba melakukan ‘pendekatan’.

“Gak perlu. Gue pengen duduk sendiri” ketusnya dingin. Sangat dingin. Hingga aku bisa melihat Rizky melipat mukanya hingga masaaam sekali. Baru aku lihat Rizky cemberut. Tentu, siapa sih yang tak geram di begitukan ? sudah dibaik-baiki, eh malah menjawab jutek.

Huh! entah kenapa aku ikut keki. Apa harus se-arogan itu ? mentang-mentang dia senior ? mentang-mentang dia setahun lebih tua ? tapi kan..tak ada gunanya jika sekarangpun Ia berada dikelas kamu. Sekelas dengan kamu. Satu angkatan.

Ya kan ?

Aku rasa, aku mulai tak suka dengan sikapnya yang kelewat..dingin.

*

Aku tak tahu kapan datangnya, yang jelas rumah kosong milik keluarga Obiet yang terletak persis didepan rumahku, kini menampakkan kesibukan. Beberapa nampak sibuk berlalu lalang mengangkat barang-barang rumah tangga. Apakah ini petanda aku akan mendapatkan tetangga baru ?

“Mamaaa..Acha pulang” seperti biasa, aku berkoar heboh setiap sampai di rumah.

Hening.

Kemana Mama ? biasanya beliau rutin mencubit pipiku setiap aku pulang dari sekolah. Tapi kini ? batang hidungnya pun tak nampak.

Aku memutuskan untuk mencari di dapur. Siapa tau saja Mama ada disana.

“Oh, Nyonya lagi ke rumah depan Mba. Lagi kenalan sama tetangga baru” jawab Bik Omah, saat aku bertanya.

Astaga Mama. Begitu tinggikah sosialisme dalam diri Mamaku ? sehingga orang yang baru pindah pun didatanginya hanya sekedar untuk..bertanya mereka pindahan dari mana ?

Eurgh..aku tak pernah tau sikap Mamaku yang –kurasa-berlebihan itu.

“Kata Nyonya, kalo nanti Mba Acha pulang, nyusul aja ke rumah depan” sambung Bibik. Apa ? nyusul ? gak deh makasih. Mending aku ke kamar aja. Tidur siang.

“Gak deh Bik. Aku capek” tolakku yang diiringi dengan kepergianku meninggalkan dapur.

Aku merebahkan diri pada benda persegi panjang empuk yang ditutupi sprei tokoh Putri Duyung, si Little Mermaid. 

Ah, hari yang melelahkan.
Baru saja sehari menjadi penghuni baru kelas kami, teman-temanku sudah kompak menjauhinya. Kalian pasti tau kan ? yap! Karena murid baru itu terlalu dingin. Dengan sikapnya yang anti-ber-sosialisasi itu. Tapi bukan berarti tak ada yang mencoba berkomunikasi dengannya. Setelah Rizky, ada Nyopon, Daud, Debo, Septian. Juga dari anak perempuan seperti Zevana, Dea, Keke, Nova. Dari mereka tak ada yang ditanggapi satupun.

Taulah, aku tak akan mencoba mengajaknya berbicara. Karena 1 hal yang paling aku benci, yaitu..tak dianggap.

*

Mama menggoyang-goyangkan pinggulku heboh. Ah, mengganggu tidur siangku saja. Kenapa sih ? dengan ogah-ogahan, mataku terbuka. “Kenapa sih Ma ?”

“Ck, ayo ikut Mama ke rumah tetangga baru itu. Nanti malem mau ngadain selametan rumah baru. Kan sebagai tetangga yang baik, kita wajib bantu” jawab Mama. Heuh, bantu ?

“Dih ngapain sih ? mungkin mereka udah pesen makanan di restoran ato cattering. Dan lagi kan mereka juga punya pembantu. Acha ngantuuuk Ma” elakku, alih-alih tidur lagi, tanganku malah diseret Mama. Memaksaku bangun.

“Mama gak mau denger, kamu harus bangun titik! Ayolah Acha cantik, anak Mama gak boleh males gini” paksa Mama. Ck, siapa sih tetangga baru itu ? penasaran juga aku.

*

Glek. Aku mendegut ludah. Tak mungkin.pertama kalinya aku percaya dengan ungkapan ‘dunia memang sempit’. Ya, aku percaya. Karena saat ini, detik ini. Aku berhadapan dengan seseorang yang sangat ingin aku hindari. Alvin. Oke, Kak Alvin maksudnya. (walaupun Ia sekelas denganku, tapi aku rada sungkan memanggil namanya. Mungkin karena aku tau Ia setahun lebih tua dariku).

Tadi Mamaku memperkenalkanku pada semua penghuni rumah lama Obiet. Seorang wanita berpenampilan modis bernama Tante Agustine. Pria berdasi dengan garis wibawa yang tergurat jelas di wajahnya, bernama Om Lukman. Yang aku yakini, mereka adalah sepasang suami-istri.

Dan, saat Tante Agustine memanggil sebuah nama. Alvin. Catat, aku tak berpikir bahwa Alvin yang dimaksud adalah Alvin Jonathan. Maksudnya, nama Alvin tak hanya tercetak untuk 1 orang saja kan ? jadi aku tenang-tenang saja.

Tapi sekejab berubah. Karena memang, Alvin yang dimaksud adalah si-murid-baru-pangeran-es-yang-dingin-nya-tak-ter-kalah-kan-se-jadag-raya!

“Acha” Aku ulurkan tanganku. Hati ini berdoa, semoga saja Kak Alvin mau menyambut uluran tanganku (mengingat dikelas tadi, saat Zevana berniat menyalami Alvin. Bukannya mendapat sambutan, gadis itu malah ditinggal pergi). 

Ya Tuhan, moga saja aku tak dipermalukan.

“Alvin” Yes! Keberuntungan berpihak padaku. Walau sebentar saja Kak Alvin menyalamiku. Tapi aku senang, setidaknya tak harus aku menanggung malu karna dikacangi.

Jadi, berarti apakah ini ? aku..dan..dia ? sekelas ? duduk berdekatan ? dan..bertetangga ?! oh No..!!

*

Bibirku maju entah beberapa senti. Pipiku menggembung mirip balon warna-warni yang dijual seribu limaratus-an/balon yang biasa dijajakan penjual balon di pasar malem.

Ah, aku tak peduli seberapa jelek wajahku saat ini. Aku marah! Bagaimana tidak ? sudah hampir jam 7. Kurang dari 10 menit, gerbang akan ditutup. Dan kalian tau aku sedang ada dimana ? di rumah! Yap! Tepatnya di halaman! Masih di RUMAH!

Mobil Ayahku mogok. Dan dengan sok tau-nya, Ayah berusaha membetulkan sendiri. Mencari tau apa penyebab kerusakan. Ayah, sadarkah bahwa Ayah bukan lulusan Sekolah Teknih Mesin ?

“Yah, cepet dong! Kalo gak panggilin taksi. Acha telat nih” sungutku. Ayah hanya mengangguk sembari menimpali. “Sebentar lagi ya Cha. Nih udah mau bener”

Tuhkan! Aku tak ingin terlambat. Masalahnya, sekolahku termasuk sekolah yang mempunyai kedisiplinan tingkat dewa. Jika ada yang telah semenit saja, tak ada gerbang untukmu! Dan aku tak mau membuang waktuku begitu saja.

“Ck, Mama udah panggilin Montir untuk kesini. Lagian Ayah sok tau. Dan kamu Cha, Taksi kan gak boleh masuk ke perumahan kita. Kalo kamu mau, kamu jalan gih sampe perempatan depan. Disana banyak taksi kayaknya” tiba-tiba Mama menyambung.

Dan tolong, aku harus berjalan 1 kilo lagi hanya untuk mendapatkan taksi ? aaaaa..pagi ini sukses membuat mood ku berantakan!

“Gak mau!” tolakku. Pokoknya gak maaauuu!

Mama nampak berpikir. Lalu kemudian beliau tersenyum saat mendengar deru mesin mobil yang tengah dipanaskan. Aku juga mendengar. Tapi sama sekali tak berniat untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu.

“Kamu bareng Alvin aja ya ?” ceplos Mama. APA ? bisa ulangi lagi ? ini yang paling tak aku sukai dari Mamaku, berlaku semuanya tanpa menunggu jawabanku. Lihat ? mama dengan santainya berjalan keluar gerbang menuju rumah tetangga baru kami. Mama nampak berbicara dengan Kak Alvin. Aku tau pasti Mama sedang memohon agar aku bisa nebeng mobilnya.

Dan hey, Kak Alvin mengangguk ?

“Udah sana, berangkat. Mama udah bilang sama Alvin. Berangkat sama pulang nanti bareng dia. Kalo perlu, untuk seterusnya. Dia gak keberatan kok” terang Mama.

Aku..melongo seketika.

*
Aku tak suka suasana seperti ini. Diam tanpa kata. Padahal aku punya sejuta pertanyaan untuk dikemukakan. Tapi ya…aku tak ingin mendapat respon buruk.

“Umm..Kak, thanks ya tebengannya” walau ragu, kuputuskan untuk membuka mulut. Yeah, setidaknya mengucap terimakasih bukan hal yang haram kan ?

Kak Alvin menoleh sebentar. “Gue baru tau lo satu sekolah sama gue. Kelas 1 ya ?”

Untuk kedua kalinya, aku melongo. Masa sih dia tak tahu kalau aku..sekelas dengannya ?!!.

“Ditanya tuh jawab. Bukan malah cengo” sambungnya. Ih..

“Masa sih Kakak gak tau ? aku kan sekelas sama kakak. Malah, duduk didepan kakak persis” jawabku. Akhirnya.

“Hah ? masa sih ? kok gue gak ngeh ya”

“Yaiyalah, makanya jangan terlalu cuek” gumamku lirih. “Apa lo bilang ?” oh rupanya dia mendengar.

“Heh ? enggak kok. Itu..jalannya sepi” aku mengalihkan.

“Ohya, siapa nama lo ? Icha ?”

“Acha”

“Ehiya Acha. Lo kok panggil gue ‘kak’ sih ? bukannya kita sekelas ya ?” tanyanya. Eh aku tak keliru kan ? dia bertanya padaku ? si-irit-ngomong bertanya padaku ? haha, ada sedikit kebanggaan dalam diriku mengingat sikap dinginnya pada teman-teman sekelasku.

“Iya Kak, soalnya kan Kakak setahun lebih tua dari aku. Eh iya, aku boleh tanya sesuatu gak ?” tanpa bisa kucegah. Aku sudah gatal ingin menanyakan pertanyaan ini.

“tanya apaan ?!” sahutnya galak. “idih galak amat. Gak jadi deh”

“ck, iyaaa Icha, mau tanya apaaa ?” Haha lucu juga saat Kak Alvin melembutkan nada suaranya.

“Kakak kenapa sekolahnya ditunda  setahun ? kan sayang, seharusnya kelas 3. Eh malah kelas 2” kataku ragu. Takut Ia tersinggung.

Kak Alvin menoleh lagi. “Gak kenapa-napa. Cuma males”

Hah ?!!

*
Dan Ternyata Cinta..berawal dari Kebiasaan

Aku tak tahu bagaimana awalnya. Kak Alvin menjadi ‘sopir’ ku setiap hari. Mengantarku ke sekolah. Juga pulang bersamaku. Kami pun menjadi dekat. Bukan dekat dalam konteks ‘pacaran’. Tapi..dekat, dekat ya dekat. Susah menjabarkannya.

2 bulan sudah Kak Alvin muncul dalam hidupku. Membawa warna berbeda.

Kata Mama, Keluarga Om Lukman asli Jakarta. Mereka pindah ke Palu saat kak Alvin kelas 2 SMP. Oh, pantas saja kak Alvin begitu fasih menggunakan ‘gue-lo’. 

Aku mulai terbiasa dengan jawaban singkatnya tiap menanggapi kebawelanku. Aku mulai terbiasa dengan segala protesnya saat aku menyuruhnya bangun pagi lewat sms. Aku mulai terbiasa dengan tatapan dingin mata sipitnya.

Kak Alvin pernah berkata “Bisa gak sih, gausah bangun pagi-pagi banget ? lo udah siap-siap, gue masih tidur tau” kala aku menelponnya jam setengah 6 hanya untuk memberi tau bahwa hari itu aku dapat tugas piket, dan aku ingin berangkat lebih awal.

Saat aku memprotes Kak Alvin yang dulu tak sadar bahwa aku teman sekelasnya, Kak Alvin menjawab dengan santai  “Yeah gitu aja ngambek. Habisnya kan selama sekolah, gue duduk dibelakang lo. Yang gue liat itu rambut sama pundak lo. Kecuali kalo muka lo dibelakang, baru gue tau”

Dan haha, lagi-lagi aku dibuat melongo. Argh! Kak Alvin itu..selain cuek juga selalu membuatku gregetan dengan jawaban-jawaban entengnya.

Satu hal lagi yang menjadi kebiasaanku dengannya. Setiap hari aku datang ke rumahnya untuk menanyakan beberapa mata pelajaran yang tak ku mengerti. Biar cuek begitu, kak Alvin termasuk pintar loh. Dan yang membuatku tambah kagum padanya, Ia tampak biasa saja. Tak menonjolkan kepintarannya sedikitpun.

Hey, boleh ku koreksi ? tadi aku bilang apa ? kagum ?

Sebentar sebentar..aku ingat! Kata teman-temanku yang-sudah-pernah-jatuh-cinta, ketika kita mulai menyukai orang lain, ada semacam rasa aneh dalam hati kita.

Begini segelintir komentar teman-temanku :

Zevana: “kalo lo suka sama orang, mata lo bakal nyari dia dimanapun lo berada. Karna diem-diem lo ngarepin dimana ada lo, disitu ada dia”

Sivia: “Pas gue suka sama Gabriel sih, gue selalu deg-degan tiap deket dia. Tiap liat senyumnya. Pokoknya, jantung lo jadi gak tenang deh”

Nova: “Cinta ya Cha ? gue bilangin sama lo ya, kalo lo suka sama cowo, itu jangan nancepin perasaan lo terlalu dalem. Karena kalo terlalu cinta, sekalinya lo dikecewain, itu rasanya bakal sakiiiiiit banget. Kaya gue nih. Lintar jahaaaaat!!” (Amuk Nova seraya meremas lenganku) -___-

Keke:”Kalo lo suka sama cowo, lo bakal ngerasa nyaman banget berada deket cowo itu”

Oik : “Lo bakal senyam-senyum gajelas kaya orang gila kalo inget dia”

Dan..
Ify:”Hah ? lo udah jatuh cinta Cha ? yeeey sahabat gue udah puber!!” (sambil memelukku) -__-

Oke, dari semua pendapat narasumber, aku berfikir. Memang, tak peduli dimanapun. Mataku ini selalu mencari sinyal keberadaan kak Alvin. Seperti kata Zevana. Saat aku dekat kak Alvin, jantungku berdegup tak karuan. Lebih cepat dari keadaan normal. Seperti kata Sivia. Iya, aku merasa nyaman. Bahkan sangat nyaman berada dekat kak Alvin, seperti kata Keke. Kala aku mengingatnya pun, aku sering senyam-senyum sendiri. Persis seperti kaya Oik.

Dan astaga, aku baru saja menyimpulkan. Jangan-jangan benar kata Ify, bahwa aku telah jatuh cinta pada sosok Kak Alvin ?

Tapi seperti kata Nova, aku berusaha untuk tak mempedulikan rasaku. Karna aku tak ingin terluka untuk yang pertama kalinya.

*
Dan ternyata cinta..mengukuhkannya menjadi yang terjaga dan kusimpan dalam bingkai tak berkaca, disini..dihatiku..

“Larissa Safanah Arif” panggil Bu Ira. Aduh, mampus aku! argh! Aku selalu menyesalkan kebiasaan kepala sekolahku ini yang hobi mengadakan ulangan. Secara dadakan pula! Siswa dan siswi dipanggil secara acak untuk mengerjakan soal yang tertulis di papan tulis. Tanpa membawa catatan! Yang dibawa ke depan hanyalah secuil rumus tak dimengerti.

Ck, kenapa juga semalam aku malah begadang nonton mega Bollywood ? bukan malah membuka buku ?

Aku menoleh kebelakang. Menatap kak Alvin. Yang ditatap hanya tersenyum. Ck, apa harus aku pasrah ? menatap angka dibawah 6 pada daftar nilai ulangan hari ini ?

“Ayo Larissa, kerjakan soal didepan. Nomor 8” tegas Bu Ira. Ck, kenapa juga harus nomer 8 ? nomer itu berisi soal yang sangat memusingkan. Apa itu limit ? kenapa aku tak mengerjakan nomor 5 saja ? yang –setidaknya-aku mengerti rumus dasarnya.

“Mmm..bu, gimana kalo saya aja yang ngerjain nomer 8 ?” ceplos seseorang. Serentak, semua kepala menoleh padanya. Kak Alvin! “Kenapa harus kamu ? Saya kan menyuruh Larissa”

“Iya, tapi saya ngerasa tertantang buat menyelesaikan soal nomor 8 itu Bu. Bukannya mencoba itu bukan hal yang salah ya Bu ? ayolah, kalo saya salah, saya bakal mundur dan silakan ibu limpahkan soal itu kepada Larissa kembali” terang Kak Alvin.

Aku tertegun. Sebegitukah kak Alvin melindungiku ? ah, jangan Ge-eR dulu Acha. Tiba-tiba kurasakan pipiku bersemu, saat Bu Ira menyetujui tawaran kak Alvin, dan kak Alvin melewati mejaku sambil tersenyum kearahku.

Aku memutar bola mata melihat soal nomor 8 yang coba dikerjakan kak Alvin. Soal apa itu..aku sama sekali tak mengerti..

Limit 3 (2x3+4x-1)
xà5

Takjubnya, kak Alvin begitu lancer menyelesaikannya. Hingga angka terakhir yang merupakan jawaban. Aku bisa lihat ekspresi puas Bu Ira melihat jawaban kak Alvin. Yang kurasa, jawabannya benar.

“Benar. Silakan duduk. Dan untuk Larissa, kamu kerjakan nomor 5” yes! Terima kasih Tuhan! Terima kasih kak Alvin!

Kurasa aku..sudah tau bagaimana rasanya menyukai seseorang..

*

Dan Ternyata Cinta..bermula dari persahabatan

BRAKK!!

Aku terlonjak. Kaget. Selain karena gebrakan meja dari Dea, sang ketua OSIS. Juga karena aku takut dimarahi. Aku benci dibentak.

“Laporan lo salah!! SALAH TOTAL!! BUKAN INI YANG GUE MAU !! GUE KAN UDAH BILANG DI RAPAT MINGGU KEMAREN ACHAA !! LAPORAN KEUANGAN BULAN MARET!! BUKAN APRIL !! LO TUH TELMI BANGET SIH ?!! KALO GA BECUS JADI BENDAHARA OSIS, GAUSAH SOK-SOKAN IKUT ORGANISASI INI !! OON!!” amuk Dea. Aku tau, aku tau aku memang tak becus. Tapi..katakata Dea itu loh, sungguh, aku tak pernah merasa terluka sesakit ini akibat omongan orang lain.

“Maaf. Nanti aku ralat laporannya” suaraku bergetar. Kurasa aku ingin menangis.

Dan parahnya, Dea sepertinya tau. “gausah nangis! Gue benci orang cengeng! Emangnya laporan itu bakal bener dengan sendirinya kalo lo nangis ?!!”

Deg! Aku tak bisa berfikir apa-apa. Aku tak peduli. Aku berlari kencang, keluar ruang OSIS dengan airmata mengalir deras. Tak peduli tatapan aneh anak-anak.

Aku sampai di kelas. Sepi. Maklum lah, sekarang sedang jam istirahat ke-2. Beruntung, karena aku bisa membenamkan wajahku dalam kedua tangan yang dilipat. Dan menangis sepuasnya.

“Acha, lo kenapa ?” suara lembut itu menyapaku. Aku tau itu suara kak Alvin. Aku bisa merasakan tangannya membelai rambutku. Ah bodoh! Aku baru ingat bahwa kak Alvin tak pernah pergi ke kantin atau kemanapun saat jam istirahat.

“Hhh..huhu..hmmfb..” isakku dalam. Hingga mengguguk. Beginilah aku, cengeng.

“Acha, cerita dong..lo kenapa ? ada yang nyakitin lo ? bilang sama gue” tanyanya. Aku hanya menggeleng. Tak lama, suara hening. Sapuan tangannya pun tak lagi kurasakan. Kemana kak Alvin ?

Ah memang Ia tak pernah mempedulikanku. Aku saja yang terlalu kepedean.

Selang 5 menit sebelum bel, aku merasakan ada seseorang yang menarik tanganku hingga aku bangkit. Kak Alvin ?

“Ikut gue. Gue pengen ngomong sesuatu. Tenang aja, jam-nya Pak Joe kosong kok” ujarnya sambil menyeretku keluar kelas. Kami sampai di taman belakang sekolah. Sepi.

“Gue tau apa yang buat lo nangis. Dea kan ?” tanya Kak Alvin yang tiba-tiba membawa ku dihadapannya. Kedua tangannya bersandar di pundakku. “Kok kakak tau ?”

“Iyalah! Kan sebelum istirahat, lo dipanggil Nova ke ruang OSIS. Pas lo nangis, gue langsung cari Nova. Dan tanya ke dia ada apa. Nova jelasin semua ke gue”

Oh iya, aku baru ingat. Nova juga anggota OSIS. Sekretaris I tepatnya. Mungkin tadi Nova ada keperluan dengan Dea tapi Ia menunggu urusanku dengan Dea selesai. Sekilas aku lihat bayangan Nova tengah duduk menunggu didepan ruang OSIS. Jadi tentu saja, Nova mendengar bentakan dea yang tak ada duanya itu.

“Dengerin gue ya Cha” Kak Alvin mengangkat wajahku supaya menatapnya. Perasaanku makin tak karuan. “Gue udah kasih pelajaran ke Dea. Tapi..bukan itu yang utama. Gue pengen lo tegar! Jangan cengeng. Nangis itu wajar kok, kalo lo ngerasa terluka. Tapi janji sama gue, ini untuk yang terakhir”

“Kak..”

“Orang yang cengeng, itu akan dianggap lemah Cha. Karna mereka lebih memilih untuk menangis ketimbang nyelesein masalah. Maaf ya Cha, tapi menurut gue, orang yang lemah itu akan selamanya dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya. Lo gak mau kan dianggep begitu ? kuat bukan berarti berkuasa. Dan berkuasa bukan berarti semena-mena. Dan..Bukan berarti yang kuat bisa seenaknya nindas yang lemah. Mereka yang kuat dan berkuasa, gak bisa bertindak seenaknya aja” sambung kak Alvin.

Aku menunduk.

“Cha, janji ya berubah. Gue gak mau lo cengeng gini. Lo harus tegar. Lo mampu kalo lo mau. Percaya sama gue” lirih kak Alvin. Yang sedetik kemudian, merengkuhku kedalam pelukannya. Mengusap rambutku.

Ah, apakah Ia juga menyukaiku ?

*

Dan ternyata Cinta..bukan mencari sosok yang sempurna. Melainkan kesempurnaan cara kita menyayanginya..

Ya ampun! Bodoh sekali aku ini! Sungguh tak berpikir panjang! Argh!! Mau dibawa kemana mukaku setelah ini, sumpah aku malu sekali! Ingin rasanya kupindah mukaku ke punggung! Aku bahkan tak berani menatap kak Alvin langsung!

Semua gara-gara Ify! Ya, gara-gara Ify. Jadi awalnya, aku asik ber-texting dengannya. Ify yang selama ini penasaran dengan kedekatanku dengan kak Alvin, terus mendorongku untuk bicara jujur ada apa antara aku dengan kak Alvin.

Jujur aku sedikit kesal. Yah habisnya, Ify tak mengerti situasi. Aku kan lelah. Sehabis pulang sekolah, langsung disodori sms borongan dari Ify. Jadi dengan kantuk yang tertahan, aku mengetik balasan untuk Ify. Yang berisi pengakuan.

Begini :

Iyaaaa deh aku ngaku. aku suka sm kak Alvin. Puas km! Ehtapi jgn blg sp2 y! cm km yg tau

Kali ini aku merutuk mataku yang lebih dikuasai rasa kantuk. Yang berakibat fatal! Aku-salah-mengirim-sms! Nama Alvin dan Alyssa-nama depan Ify-yang kebetulan berdekatan, membuat jariku terpeleset dan mengirimkannya ke kak Alvin!

Ya Tuhan..aku ingin menghilang ke dasar bumi. Saat kak Alvin datang ke rumah. Mencariku. Dan kini, kak Alvin menatapku.

“Cha, yang..lo bilang di sms itu beneran ?” tanya kak Alvin. Aduh, harus jawab apa aku!??

“Jujur aja Cha. Ketimbang gue kegeeran” dorong kak Alvin. Aku menarik nafas dalam-dalam. Sudah kepalang basah, lebih baik mengaku sajalah.

“I..iya kak. Aku..aku suka sama..Kakak” akhirnya aku mengakui. Itupun tetap menunduk. Aku merasa pipiku panas sekali. Pasti mukaku sudah seperti kepiting rebus. Mana kak Alvin diam saja lagi. Bagaimana kalau perasaanku bertepuk sebelah tang..

“Haha” ehm, suara itu ? aku cepat-cepat mengangkat wajahku. Kak Alvin ? tengah tertawa ? kenapa ? ada yang lucu ?

“Kenapa ketawa ?” tanyaku. Jangan-jangan Ia menertawakan kebodohanku. Aaaaaa..

Tapi bukan, kak Alvin tak langsung menjawab. Malah membelai ubun-ubunku. Lalu mencubit pipiku. “Acha, gue juga sayang sama lo. Tapi..Cuma sebatas adik. Gak lebih. Lo udah gue anggep sebagai adik gue sendiri”

Mukaku seperti hilang tersedot gravitasi. Aku..terluka.

Tak tahan, aku bertanya.”Kenapa kakak gak suka aku ? kaya aku suka kakak ?”

Alvin hanya tersenyum simpul. “Bukan, bukan karena lo gak pantes untuk disukai. Tapi lebih ke gue. Gue jujur sama lo ya Cha, gue udah punya seseorang. Yang gue simpen dan gue jaga, disini” kak Alvin menunjuk dadanya. Apa ? jadi..Ia sudah punya pacar ? kenapa Kak Alvin tak pernah bercerita ?

“Gue itu tipe cowo yang sangat menjaga yang namanya kesetiaan Cha. Cewe gue aja jauh disana. Di Palu. gue udah pacaran sekitar..kurang 2 lebih tahun. Gue sayang sama dia” tuturnya.

Aku terluka. Sesak nafas. Entahlah, benar kata Nova dulu. Aku menyesal kenapa aku menobatkan kak Alvin sebagai cinta pertamaku. Aku menyesal. Karena ternyata, perasaanku tertancap dalam untuknya. Sehingga saat aku dikecewakan, rasanya sakit sekali.

Kak Alvin merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel. “Dia, dia cewe gue. Namanya Shilla”

Ia menyodorkan ponselnya kepadaku. Berjuta perasaan berkecamuk tak karuan dalam hatiku kala memandang foto yang dijadikan wallpaper itu. Foto seorang gadis cantik. Sangat cantik.

Beuh, pantes kak Alvin setia. Orang ceweknya aja cantik begini. Batinku dalam hati.

“Tiap hari. Entah itu saat sms, pas telpon. Gue selalu ceritain tentang lo ke dia. Gue cerita ke Shilla kalo gue punya adik cewe baru yang bawel, asik, cengeng, rakus, tukang tidur, dan manis. Yang namanya Acha” goda kak Alvin.

Pipiku kembali bersemu. “Aaaa kakak mah, malu-maluin aku itu namanya!!”

Kak Alvin terkekeh. “Hehe, nah gitu dong. Acha yang gue kenal itu Acha yang gue sebutin tadi. Bukan Acha yang langsung jadi pendiem begitu cintanya bertepuk sebelah tangan”

Aku mengerucutkan bibirku. Membuat Kak Alvin (kembali) mencubit pipiku. “Gak selamanya cewe sama cowo yang deket, terikat dalam suatu hubungan bernama ‘pacar’. Kita tetep deket, walaupun gue anggep lo adik. Percaya Cha, suatu saat nanti, lo bakal nemuin cowo yang lebiiih baik dari gue. Gue sayang lo, dek”

Entah kenapa, perkataan kak Alvin memompa semangatku kembali. “Jadi, janji ya kakak gak akan ninggalin aku ? janji ya, kakak gak akan lupain aku ? dan janji..kakak akan selalu anggep aku adik kakak!”

“Iyaaa Acha, Kakak janji” kami mengaitkan kedua kelingking kami.

Dan ternyata cinta..mengajarkanku ikhlas walau aku tak rela

*
Dan ternyata Cinta..tak hanya berpihak pada mereka yang saling memiliki..

Makin hari, aku dan kak Alvin makin dekat. Di kelas, bermain tebak-tebakan berdua. Menemani kak Alvin ke kantin( untuk pertama kalinya Kak Alvin ke kantin kelas saat istirahat). Rutin berangkat dan pulang sekolah bersama (kecuali jika kak Alvin ekskul futsal. Tapi jika aku rapat OSIS, kak Alvin keukeuh menungguiku).

Tak hanya disekolah, tapi juga di rumah. Sore, setiap jam setengah 7 aku datang ke rumahnya. Atau dia yang datang ke rumahku. Untuk belajar bersama, atau sekedar duduk di beranda depan. Terkadang merendamkan kaki di kolam sembari mendengarkan curhatannya tentang kak Shilla. Yang lebih mengasyikkan lagi, saat aku dan Ia bersepeda keliling kompleks.

Aku senang tiap melewatkan waktu bersamanya. Seakan-akan jarum jam berjalan lambat. Walau Ia menganggapku hanya sebatas adik, bukan berarti rasa suka ku sebegitu cepatnya pergi.

Aku masih menyukainya. Ya, tapi untuk kali ini, aku tak berharap apa-apa. Dari ceritanya tentang kak Shilla, aku menyimpulkan bahwa Kak Alvin sungguh-sungguh menyayangi pacarnya itu. Dan aku, tak bisa menjadi pihak ketiga.

“Achaaa !!”  seru Kak Alvin heboh saat aku duduk di beranda sendirian. Aku bisa melihat kak Alvin tengah berlari-lari kecil menuju ke rumahku.

“Kenapa kak ?” aku menyambutnya dengan pertanyaan. “Nih” kak Alvin malah menyodorkan ponselnya.

“Hah ? siapa ?”

“Shilla. Pengen ngomong sama lo” tukas kak Alvin. Hah ? kak Shilla ? jangan-jangan kak Shilla ingin melabrakku karena aku dianggap merebut kak Alvin.

Halo, Acha..tak ada kisah mirip sinetron dalam episode kisah hidupku. Jadi, buang pikiran-sinetron-mu jauh-jauh. Aku menerima ponsel kak Alvin.

“Halo” sapaku kikuk. “Hai, kamu Acha ya” terdengar balasan dari seberang. Suaranya lembut. Pasti orangnya baik, terkaku.

“Hehe iya kak. Ini kak shilla ya ?” garing. Bodoh. Aku merutuk dalam hati. Sudah jelas-jelas Shilla, kenapa harus tanya lagi ? errrrr -__-

“Alvin cerita banyak banget tentang kamu Cha. Hihi, Alvin juga kirimin foto kalian berdua via email ke aku” kata kak Shilla. Aku terlongong. “Hah ? foto ? foto yang mana kak ?”

“Itu loh, foto di taman kota. Ekspresi kesakitan kamu itu loh, kaya beneran. Haha aku ketawa liatnya” benar, aku mendengar kak Shilla tertawa halus di seberang.

Tapi tunggu, foto di taman kota ? astaga..jangan-jangan, foto saat aku dan kak Alvin bersepeda kesana. Dan tanpa sengaja, kak Alvin menabrak batu kecil yang membuat sepeda oleng. Sepeda jatuh dan menibani kaki dan pinggangku. Lalu kak Alvin mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Dan berkata “Liay kedepan Cha”

Jepret!

Aku tertangkap kamera dengan ekspresi tak terpatahkan, yaitu meringis menahan sakit. Aaaaa kak Alviiin!

Huh, bisa-bisanya tadi kak Shilla bilang ekspresi kesakitanku seperti nyata ? jelas-jelas itu nyata!
“Hei, kamu masih disana ?” tegur kak Shilla. Aku tersentak. “Hehe masih kak. Oia kak Shilla kapan ke Jakarta ?”

“Mmm..kapan ya ? gak tau nih Cha. Aku sih pengen kesana. Tapi kan sebentar lagi ujian akhir. Mungkin setelah ujian kali ya. Lagian aku gak bisa lama-lama gak ketemu Alvin” oke..yayaya, aku mengerti. Ada sedikit rasa cemburu menyodokku. Tapi tak apalah, lagipula siapa aku ?

“aku juga pengen ketemu sama kamu Cha. Penasaran. Kata Alvin kamu tuh asik, cantik, manis. Haha jangan-jangan nanti Alvin kepincut sama kamu” ledek Kak shilla. Mengingat aku menyukai kak Alvin, ada semacam rasa aneh saat mendengar ledekan kak Shilla tadi.

“Walah ya gak mungkin lah kak. Aku sama kak Alvin kan udah kaya kakak-adik. Ya kan kak ?” aku beralih ke kak Alvin. Yang ditanya hanya mengacungkan jempol.

“Cha, jaga Alvin untuk aku ya. Kita emang belum pernah ketemu. Tapi gak tau kenapa aku yakin banget kalo kamu baik. Hehe” pesan kak Shilla.

“Oke kak, jaga kak Alvin mah kecil. Nanti bakal aku pites cewe-cewe yang kegatelan sama kak Alvin. Tapi kalo kak Alvin yang keganjenan sama cewe duluan, bakal aku aduin langsung sama kak Shilla. Hehe” tegasku. Membuat kak Alvin melotot. Tapi tetap saja terlihat sipit.

“Eh udah dulu ya Cha” Kak Shilla mengakhiri. “Eh iya kak”

Tuuuutt..
Aku mengembalikan ponsel kak Alvin pada si empunya.

“Ternyata bener ya kak, kak Shilla emang baik. Ramah lagi. Kalo gitu aku ngerestuin kakak sama kak Shilla!” ceplosku.

Kak Alvin tertawa.lalu mencubit pipiku (hobi sekali dia mencubit pipiku). “Iyaaa deh, makasih restunya. Nanti aku cariin kamu cowo juga. Biar kapan-kapan kita bisa double date. Haha”

“Aaaaah kakak!”

*
Dan ternyata Cinta..mampu mengikis ketegarannya..

“Gimana ya Cha…” tanya kak Alvin datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja kelas sehingga menimbulkan bunyi ‘tuk..tuk’. aku bingung. Untung saja jam pelajaran Bu Ira kosong. Aku duduk di meja kak Alvin.

Jujur, aku tak pernah melihatnya selemah ini. Maksudku, tak ada tatapan dingin yang memperkuat karakternya. Tak ada ucapan sederhana namun bermakna yang mencirikan kak Alvin. Yang kulihat sekarang, adalah seorang lelaki yang rapuh. Tatapan matanya sedih. Sudah kuhitung berapa kali kak Alvin berkata : ‘Gimana ya Cha’

Semua berawal dari kesalahpahaman antara kak Alvin dan kak Shilla dua hari yang lalu. Jadi waktu itu kak Alvin hendak menelpon kak shilla. Tapi suara yang mengangkatnya bukan suara kak Shilla melainkan suara laki-laki. Yang menurut kak Alvin, kak Shilla tak punya saudara laki-laki. Jadi, suara siapakah itu ?

Menurutku tak salah kak Alvin berkeyakinan bahwa si-penjawab-telpon-itu-adalah-selingkuhan-kekasih-nya.

Setengah jam kemudian, kak Shilla balik menghubungi kak Alvin. Mereka terlibat adu mulut yang cukup hebat (karena kak Alvin mengungsi ke rumahku untuk bercerita tentang kesalahpahaman itu. Dan otomatis, aku mendengar debat tak langsung antara mereka berdua).
Keduanya punya pendapat masing-masing. Kata kak Alvin, pacarnya itu bilang bahwa suara laki-laki ditelpon adalah suara milik sepupunya yang datang dari Manado. Tapi sepengetahuan kak Alvin, Shilla tak pernah cerita bahwa Ia punya sepupu di Manado sana. Dan Shilla berpendapat, tak semua hal tentangnya (harus) diceritakan ke Alvin.

Entahlah. Aku bingung sendiri. Aku tak tau bagaimana kelanjutannya. Karena Kak shilla menutup telponnya secara sepihak saat kak Alvin mulai menggunakan nada tinggi dalam ucapannya.

Lalu hingga kini. Dua hari kemudian, tak ada kabar lagi. Kak Alvin ingin meminta maaf, tapi bagaimana caranya ? sms, telpon, BBM, YM, twitter, email. Semua tak direspon.

Itulah sebab kegalauan kak Alvin. Diam-diam aku merasa takjub dengan rasa bernama ‘Cinta’. Hebat ya ? cinta itu kan gak terlihat, gak berbau. Ia hanya menempati ruang hati tiap manusia. Tapi kekuatannya maha dahsyat, bisa-bisanya hanya karena cinta, seseorang yang tadinya tegar bisa menjadi rapuh. Seseorang yang tadinya rapuh, bisa menjadi kuat.

Ajaib!

“Gue..gak bisa kehilangan Shilla gitu aja Cha. Gue sayang banget sama dia. Gue gak mau putus” keluhnya. Aku menggigit bibir bawahku. Itu kulakukan jika aku bingung. Sama seperti sekarang.

“Terus..kakak harus gimana dong ?” tanyaku. Pertanyaan bodoh. Seharusnya kak Alvin yang bertanya begitu padaku. Bukan aku yang bertanya padanya.

Kak Alvin membenamkan wajahnya. Sama sepertiku saat aku menangis dulu. Untuk sesaat, kami saling diam. Aku ikut-ikutan membisu. Mungkin kak Alvin sedang berpikir dan butuh waktu untuk berpikir.

detik selanjutnya, kak Alvin mengangkat kepalanya. Dengan wajah yang berseri-seri, dia berkata. “Gimana kalo gue susul ke Palu ? gue harus selesein semuanya, Cha. Gue harus ngelurusin masalah ini sebelum gue kehilangan dia”

Dan ternyata Cinta..memang butuh pengorbanan untuk bisa mencapai manisnya

*
Dan ternyata Cinta..berpihak pada mereka yang benar-benar tulus mencintai

Keputusan kak Alvin sudah mantap. Maka hari ini, aku mengantarnya ke Bandara. Menggunakan taksi. Untung saja hari ini kami-kelas 2- libur 5 hari karena kelas 3 sedang ujian. Kak shilla pun sedang berkutat dengan kertas ujian dan pensil 2B. tapi kak Alvin bilang bahwa Ia akan mengajak kak Shilla bicara nanti, setelah ujian selesai.

“nanti kakak tinggal dimana ?” tanyaku polos. Kurang dari setengah jam lagi kak Alvin berangkat.

“Ada tante gue. dan dirumah dia-lah gue tinggal sementara” jawabnya. Kak Alvin mencubit pipiku, lalu tanpa kuduga, memelukku. “Doain gue ya Cha. lo pasti bingung ya, kenapa hanya demi masalah sepele, gue rela terbang ke Palu ? gue gak bisa jelasin ke lo. Suatu saat, jika lo mencintai seseorang. Lo akan mengorbankan apapun hanya untuk bersamanya. Tetap bersamanya”

Aku ingin menangis. Entah karena apa. Kata-kata kak Alvin yang begitu..dalam mungkin.

“Gue masuk sekarang ya Cha. jaga diri lo. Nanti, gue bawain oleh-oleh dari Palu” janjinya.

“Oleh-olehnya apa kak ?” mataku berbinar-binar jika menyangkut oleh-oleh. Hihi..

“Cowo” sahut kak Alvin santai. “aaaaaah kakak!!”

*

Dan ternyata Cinta..mengajarkanku untuk senantiasa memaafkan walau aku terluka

Aku memandang keluar jendela. Diluar gerimis. Percik-percik air yang tak hentinya mengguyur pertiwi sudah sejak pagi tadi.

Aku menatap kalender di meja belajarku. Sudah hari keempat. Tapi kak Alvin tak memberi kabar. Padahal sebelumnya Ia berjanji akan rutin memberiku kabar.

Drrtt..drrtt..
Ponselku bergetar halus. Tanda ada pesan masuk. Secepatnya aku raih ponsel diatas meja belajar. Aku berharap itu dari kak Alvin. Dengan semangat aku membukanya.

yaaah..

Bukan dari kak Alvin ternyata -__-
Melainkan dari..ck, siapa ini ? nomor asing.

Sender : 086299018xx

Hai, yang sedang membaca sms ini! Salam kenal!
Tersenyumlah :D aku yakin senyummu semanis madu tawon unggulan.

Wahaha, aku tertawa terpingkal-pingkal. Isi sms itu lho, astaga..gombal sekali. Haha, siapa ini ? ah tapi aku tak suka ber-sms dengan orang asing. Jadi kuputuskan untuk tak membalasnya.

Keesokan harinya.

Aku dibuat tersentak saat ponselku bergetar pelan. Ah membuyarkan lamunanku saja.

Sender : kak Alvin_mabigbro_

Cha, bisa jemput gue gak ?

Tentu saja bisa! Aku mengetik balasan secara kilat. ‘Oke’ hanya itu. Lalu aku berganti pakaian dan mencari taksi. Aku tak sabar menunggu kabar dari kak Alvin.

Leherku terjulur-julur bagai jerapah. Mencari sosok kak Alvin. Ah kemana dia ?

“Hei” seseorang menepuk pundakku dari belakang. Sontak aku menoleh. “Kak Alvin!”

Aku memeluknya. Dan hey, kurasa aku mulai menganggapnya sebagai kakak. Tak lebih.

“Hehe, kangen ya sama gue” terka kak Alvin. Aku mencibir, namun harus kuakui itu benar.

“Kak, gim…”

“Sssst! Pulang dulu. Nanti gue ceritain semua ke lo” sela kak Alvin. Oke, mari kita pulang. Karena aku benar-benar tak sabar mendengar ceritanya.

Sampai di perumahan, Kak Alvin tak langsung pulang ke rumah. Melainkan duduk di beranda rumahku.

“Jadi ?” tanyaku.

Kak Alvin menghela nafas. “Kami putus Cha”

Mata besarku membulat. “Apa ? putus ?”

Kak Alvin mengangguk. “Cinta itu gak bisa dipaksain Cha. kalo dipaksa, itu bakal bikin hubungan yang terjalin gak sehat”

“Tapi kenapa ? apa karena kak Shilla sel..”aku tak sampai hati melanjutkan ucapanku. Kak Alvin hanya tersenyum tipis. “Bukan itu alesannya. Selama disana, aku ngomong sama dia. Panjang, ternyata dia gak tahan ngejalanin hubungan jarak jauh. Dia manja Cha. dia butuh cowo yang bener-bener ada disampingnya. Bukan jauh kaya aku”

“Tapi kan itu konsekuensi kak!” protesku. Entah kenapa aku emosi. Egois sekali kak shilla itu.

“Iya sih. Tapi kaya yang aku bilang tadi. Segala yang dipaksain itu gak akan baik Cha. aku gak bisa mengutamakan kepentinganku aja. Karna dalam hal ini, ada dua orang, dua hati, dua rasa, dan dua kepentingan. Yang mana yang harus didahuluin, itu tergantung kita nya”

Kak Alvin menyambung. “Lagian, Shilla punya rencana buat kuliah di Singapore. Dia pengen konsen sama pendidikan dulu. Katanya. Aku gak bisa halangi cita-citanya Cha”

“terus, kak Alvin ngalah gitu ?”

“Yah, mau gimana lagi ? mengalah bukan berarti kalah kok Cha. aku ngalah karena aku mentingin cita-citanya. Semua orang berhak kok punya pilihan. Hidup itu pilihan dan dipilih. Apa yang kita pilih, gak selalu memilih kita balik. Dan yang memilih kita, belum tentu pas di hati. Walaupun pahit, tapi aku rela kalo akhirnya begini” terang kak Alvin. Senyumnya tak pernah pupus sepanjang Ia bercerita.

“Dan lagi, kalo jodoh, gak akan kemana kan ?” lanjutnya, sembari merangkulku.

“Iya, tapi kalo gak jodoh ?”

“Kalo gak jodoh, aku pacarin kamu! Hehe” goda kak Alvin. “Idih ogah! Masa aku pacaran sama orang yang aku anggep kakak aku sendiri”

“Yee sok jual mahal nih yee” balas kak Alvin.

“eh kak, dulu kan aku pernah janji sama kakak untuk gak cengeng lagi. Sekarang, kakak mau gak janji sama aku ?” tawarku. “Janji apa ?”

“Kakak harus janji, jangan karena ditinggal kak Shilla, kakak terus sedih. Kakak harus tetep jadi kak Alvin-nya Acha yang dingin, cuek, tapi perhatian. Janji ya ?” Aku mengacungkan kelingkingku didepan mukanya. Kak Alvin terkekeh. Lalu mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku. “Janji”

“Eh Cha, aku pengen ajak kamu jalan-jalan. Tapi kan kamu bau belum mandi. Mandi dulu gih. Ganti baju, dandan yang cantik. Biar aku gak mau bawa kamu jalan” ejek kak Alvin sembari mengacak-acak rambutku.

“Iiih kakak! Kak Alvin tuh yang bau!” cibirku. Pura-pura cemberut.

“Yee jangan ngambek dong. Sesame belum mandi dilarang ngatain. Haha, yuk jalan sekarang. Tapi ke rumahku dulu, ambil mobil” ajak kak Alvin. Ia merangkulku paksa.

“Kak Alvin alusan dikit kenapa sih ?! katanya aku ini adik kakak!” protesku saat tangannya terlalu kuat merangkulku. Kami berjalan menuju rumah kak Alvin.

“Udah jangan protes! Marah-marah mulu, nanti cepet tua loh!”

“Idih, emang kita mau kemana kak ?”

“Ke pasar malem. Aku mau beliin adikku yang cantik ini sekarung arum manis”

“Beneran kak ? yey makasih !!”

“Eh aku baru inget, aku juga bawain kamu oleh-oleh loh”

Aku mendelik. “Apa ?”

“Cowo”

“Ih”

“beneran. Jadi pas di Palu, aku punya tetangga. Seumuran sama kamu juga. Namanya Ozy. Lucu deh anaknya. Asik. Aku udah kasih nomer kamu ke dia. Aku suruh aja dia sms kamu. Dia udah sms ?” tanya kak Alvin.

Sebentar sebentar, jika yang dimaksud kak Alvin itu..jangan-jangan..segera aku merogoh ponsel di saku. Lalu kusodorkan sms tempo hari pada kak Alvin. “Ini bukan nomernya ?”

Dan, benar saja. Kak Alvin langsung tertawa saat membaca sms itu. “Hahaiya bener! Ini Ozy banget! Ecieee adikku udah ada gebetan nih yeee”

“Ih kakak apaan sih” pipiku bersemu.

“Haha”

Tanpa bisa kucegah, aku turut tertawa bersama kak Alvin. Aku berharap, kisah antara aku dengannya tak pernah berakhir sampai disini. Ia tetap terukir sebagai cinta pertamaku. Tapi, namanya lebih abadi terpatri sebagai sahabat, sekaligus kakak yang selalu melindungiku.

Dan ternyata Cinta..adalah sebuah kisah sederhana tentang siapa yang mencintai dan siapa yang dicintai

-The End-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar