Kamis, 01 September 2016

Hujan Kemarin - One shot -



            “Kamu mau jadi pacarku?”

Aku menatap cemas gadis di hadapanku. Gadis yang sekian lama aku sukai. Gadis yang merupakan cinta pertamaku. Gadis yang membuat hatiku berbunga-bunga hanya dengan mendengar namanya. Gadis yang membuatku berlatih pengakuan hati di depan cermin.

Dialah Ify.

Gadis manis itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. “Maaf. Aku nyaman kita temenan”

*
Paduan suara vokal indah yang berasal dari finalist dan ex-finalist memenuhi panggung yang akan dijadikan tempat penyelenggaraan Grand Final ajang itu. Saat ini mereka sedang berlatih lagu Buka Hatimu kepunyaan Armada. Yang difokuskan dua grand finalist (Mario & Halilintar) sebagai vokal utama, sedangkan yang lain hanya back-up vokal.

Aku masih menangkap bayangannya dari ekor mataku. Kebetulan di lagu ini aku mendapat tempat di sisi kiri panggung, bersama dengan rekanku yang lain, Shilla. Dan tentunya, Ify.

*

 “Aku Ify, dari Bandung”
Aku tak pernah melupakan senyum manisnya. Kala itu aku masih berumur 10 tahun. Ia satu tahun lebih tua dariku. Kami dipertemukan dalam ajang ini, ajang pencarian bakat penyanyi anak-anak. Aku berasal jauh dari Batam. Tujuanku mengikuti ajang ini adalah untuk membahagiakan kedua orangtua dan adik semata wayangku.

            Sejak bertemu dengannya, aku tahu aku memiliki tujuan lain.
*
            “Nanti kamu jangan lupa senyum ya sayang”
            “Iya, Mah”
            “Harus kelihatan ramah di depan kamera, inget, muka kamu kalo lagi diem itu keliatan jutek banget”
“Iya, Mama sayang, Ify ngerti”

Aku tak bisa menahan senyumku. Dari tempatku sekarang, aku bisa melihatnya berdiri dengan wajah ditekuk. Tante Gina-mamanya- masih setia di posisinya sembari memberikan wejangan-wejangan kepada putrinya. Yang tentu saja direspon seadanya oleh Ify.

Saat ini kami berada di program musik di salah satu stasiun TV. Aku, dan teman-temanku yang tergabung dalam band project – SI Band- sedang menunggu waktu untuk tampil. Kebetulan, ia juga ikut dalam project ini. Menjadi keyboardist.

Kebetulan yang indah, bukan?

Jadi walaupun ajang itu sudah berakhir, aku masih mempunyai kesempatan untuk memiliki hari bersamanya.

Walaupun sebagai teman.

*

            Aku berjalan tergesa menuju kamar mandi. Kuabaikan panggilan Debo, rekanku yang mengatakan kalau beberapa menit lagi kami tampil. Tapi aku tidak peduli. Aku menulikan telingaku. Aku ingin sendiri dulu.

Aku tidak mau ada yang melihat ekspresi marahku
.
Selama ini aku dikenal sebagai sosok yang ramah dan ceria.

Dia, hanya dia yang mampu membuatku mengeluarkan ekspresi ini.

      Aku tak mendengarnya pacaran dengan lelaki lain, atau melihatnya berdua dengan seseorang. Sepele saja sebenarnya, jadi saat Band kami tampil, salah satu teman dekatku, Alvin bernyanyi sambil mendekatinya dan merangkulnya. Aku tak tau itu sengaja atau tidak. Tapi.. uh.. itu mungkin masuk dalam daftar hal yang tidak ingin aku lihat sepanjang hidupku.

*

            Kontrak kami dengan stasiun TV tersebut berakhir tahun ini. Itu artinya akan jarang sekali event-event yang mempetemukan kami.

Dengan tingkat pertemuan yang tak sesering dulu, aku mulai menata hatiku. Menjadi sosok yang baru. Menjadi pribadi seperti saat sebelum aku bertemu dengannya.

Aku ingin melupakannya. Jika ia lebih nyaman menganggapku sebagai teman, mengapa tidak demikian denganku?

*
            Tak kusangka akan sesulit ini menghapusnya. Aku berhenti mengirimkannya pesan-pesan singkat semenjak ia menolakku. Tepatnya sekitar 3 tahun yang lalu. Sejak itu terbangunlah dinding tak terlihat diantara kami, walau percayalah aku ingin sekali meruntuhkan dinding itu.


“Kamu sebagai Mahar, ya?” aku menerima naskah drama musikal itu, dan mulai membacanya. Bertemu teman-teman baru membuatku sedikit melupakannya. Terlebih ada Shilla dan Patton, rekan seperjuanganku dalam ajang itu yang ikut andil dalam drama musikal ini.
      
      Aku berlatih dengan giat agar sosok Mahar dapat kuperankan dengan baik. Aku mendapatkan banyak pujian, yang kuterima dengan senang hati. Ah.. lingkungan baru ini benar-benar membuatku nyaman.

Sebetulnya ada salah satu dari mereka yang menarik perhatianku. Pemeran Aling. Dia begitu manis dan sopan. Senyumnya mengingatkanku pada…

“Serius nanti lo kesini, Fy? Sama Via? Terus...? ah Zahra? Sama Ray juga? Asik. Oke gue tunggu. Bye” aku menegang kala mendengar Shilla menyebut namanya. Apa tadi katanya? Mereka akan kesini? Menonton kami?


Kuselesaikan kalimat terakhir kami sebelum ditutup dengan salam hormat dari seluruh pemain. Dari tempatku berdiri, mataku masih berusaha menyisir bangku penonton, berharap menemukannya. Ah, aku melihat Sivia. Itu artinya ia tak jauh darinya. Sivia, Zahra, Ray, dan.. itu dia! Dia juga sedang melihat kearahku. Aku tak bisa menahan untuk tak tersenyum. Ia pun melempar senyum padaku.
Hari keberuntunganku, eh?

*
            “Dia.. jadian sama temen sekolahnya. Namanya….” Mataku yang semula menahan kantuk kini terbuka lebar. Memang sudah menjadi rutinitas kami –para alumni ajang tersebut- untuk ngobrol di grup Yahoo! Messanger setiap Rabu dan Jumat malam-untuk menjaga silahturahmi-. Semula aku ingin istirahat saja karena terlalu lelah dengan kesibukan sekolah. Tapi karena bujukan teman-temanku akhirnya aku rela online dan melupakan lelahku.

Obrolan kami rata-rata selalu sama. Kabar bagaimana, sibuk apa, sudah punya pacar atau belum. (Yang mana pertanyaan terakhir aku berharap tak ada kabar darinya).

Harusnya aku tau ini akan menjadi salah satu hari burukku. Pertama karena aku sedang tidak mood untuk online (biasanya aku salah satu yang paling bersemangat). Kedua, karena kulihat ia tidak online (banyak sih yang offline. Seperti Sivia, Shilla, Cakka, Oik, lalu ada beberapa lagi). Dan ketiga, saat salah satu temanku Irva mengetikkan pesan yang tak ingin aku lihat seumur hidup.

Ify. Punya. Pacar.

*

“Ciee..pajak jadiannya ditunggu”

“Longlast ya”

“Cocok banget tau kalian”

“Ehm..ehm lo udah gede ternyata”

Aku merespon semuanya dengan senyuman. Kuanggap kalimat mereka sebagai doa. Ya, doa semoga aku dengan Saras awet sehingga aku bisa melupakannya. Semoga aku juga bahagia selepas mendengar berita ia memiliki pacar. Semoga aku bisa menghapus perasaanku.

Aku tidak bermaksud jahat pada Saras, tapi tak apa kan ‘kugunakan’ dirinya untuk melupakannya?

*

            Saat detik berganti menit.

            Saat menit berganti jam.

            Saat jam berganti hari. Begitu pula dengan hari yang berganti bulan dan bulan menjadi tahun. Kulalui hari-hariku dengan kesibukan sekolah dan pekerjaan. Kufokuskan waktuku bersama keluargaku. Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang. Tanpa kekasih, walaupun ia tetap menjadi kekasih hatiku.

Aku sudah lama memutuskan hubunganku dengan Saras. Lalu menjalin hubungan dengan beberapa perempuan. Catat, aku bukan playboy.

Sementara dirinya, ia masih dengan rutinitas favoritnya. Menjadi pemusik. Bergabung dalam sebuah girlband membuatmu semakin mudah ‘melihatnya’.

*
 “Mau ada reunian nih, dateng ya!”
Sender : Dayat

            Aku letakkan ponselku diatas kasur. Hmm reuni. Itu artinya aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, setelah sekian lama. Kini usiaku sudah 25 tahun. Dan sudah menjadi pengacara muda di Jakarta.

Tak ada yang berubah dariku, termasuk perasaanku kepadanya.

*
            Aku memasuki café yang menjadi tempat kami mengadakan reuni. Kulemparkan senyumku kearah beberapa teman yang sudah datang. Dayat, sang pengusung reuni. Ada juga Septian –yang datang bersama kekasihnya-, lalu ada Osa, Iyan –hey dia tinggi sekali-, Irva –dengan kekasihnya juga-, Zahra, yang sepertinya sedang tergesa-gesa menuju toilet. Di sisi lain meja ada beberapa ex finalist dari ajang musim kedua dan ketiga, Debo, Patton, Gita, Irsyad, Bastian, Cakka –dengan rambut gondrongnya-, juga Rio, Keke dan beberapa yang lain –ada yang bahkan aku lupa siapa namanya-.

Dari sekian banyak yang datang, aku menghela kecewa. Tentu saja dia tidak datang. Dia kan sibuk, punya segudang schedule yang lebih penting daripada menghadiri acara reuni yang—

            “Hey”

Refleks aku menoleh.

            “Oh.. hai…” balasku canggung. Tenggorokanku mendadak kering. Ify berdiri di belakangku dengan baju casual –yang menurutku sangat cocok untuknya- dan bandana putih manis. Ah dia cantik sekali.

“Udah lama?”

Aku menggeleng. “Baru aja”

“Banyak juga yang dateng” ucapnya sembari melihat sekeliling. Dan melempar senyum ke beberapa teman kami. “Aku kesana dulu ya”

Aku menatapnya melenggang kearah meja Zahra. Meja dengan kapasitas 5 orang itu sudah terisi Zahra, Patton, Dayat, ditambah Ify…berarti masih bisa 1 orang lagi?

            “Eh eh itu buat Irva” sela Zahra saat aku duduk di salah satu kursi. “Yaelah.. Irva kan sama pacarnya. Mana muat mereka duduk di satu kursi” elakku. Kudengar tawa kecil lolos dari bibirnya. Aku ikut tersenyum kearahnya.
“Ih, ya udah”

Sepanjang acara –yang kebanyakan permainan- mataku tak pernah lepas dari sosoknya. Beberapa dari kami menyumbangkan lagi, termasuk aku. Bahkan aku mendapat kesempatan berduet dengannya karena usulan Shilla –thanks, Shill!-.

Sering-sering saja diadakan reunian seperti ini, hahaha!

*
Acara reuni selesai pukul 21.45 malam. Lebih malam dari jadwal perkiraaan yang semula direncanakan selesai jam 20.00. Sebagian teman-teman sudah pulang. Hanya tinggal aku, Rio, Zevana, Angel dan Ify. Aku memang sengaja belum pulang sebelum ia pulang.

Kusandarkan punggungku di salah satu kursi café. Kulihat ia tengah berbincang berdua dengan Rio diiringi beberapa tawa yang keluar dari bibir tipisnya. Mendadak bayangan fanfiction-fanfiction Rio-Ify yang dibuat fans kami dulu muncul di otakku. Aku memang beberapa kali membaca cerita fiksi karangan mereka (yang mana kebanyakan aku membaca cerita ku dan dia tentunya). Tak kusangka fans kami kreatif sekali.

“Duluan ya, Fy. Yuk, Ze” Rio menyudahi obrolannya. Lalu pamit kepadaku dan Angel juga sebelum pergi keluar café bersama Zevana.

“Eh gue udah dijemput. Lo gak mau ikut gue, Fy?” ajak Angel. Ify gelengkan kepalanya. “Nggak, sopir gue udah dijalan. Hati-hati, Ngel”

Angel mengangguk dan berpamitan padaku juga. “Gue nitip Ify yaa. Byee”

Yah, tanpa dimintapun aku akan menjaganya sepenuh hatiku.

*
“Maaf, kami mau tutup” tegus halus salah satu karyawan café. Memang ini sudah hampir jam 22.00. Dan hanya tinggal aku dan Ify. Aku menatapnya yang duduk di meja tak jauh dari posisiku, mengisyaratkannya untuk pindah keluar. Ia mengangguk.

Ironis ya, walau tinggal kami berdua pun, ia masih menjaga jarak.

Aku mengiringinya keluar café. Diluar mendadak hujan deras sekali. Yang merupakan keberuntungan bagiku karena itu menahanku untuk bersamanya walau hanya sebentar.

“Tinggal pulang aja pakai hujan” ucapnya seraya merapatkan scraftnya. Terbawa sinetron, kulepaskan jaketku dan kuletakkan di pundaknya. “Eh gak usah”
Kulemparkan senyumku.

Hening. Kami sama-sama hanya diam berdiri di depan café yang sudah tutup sembari menatap hujan.

“Sopirku lagi cuti”

Eh? Aku menoleh kearahnya. Bukankah tadi dia bilang kalau supirnya sedang di jalan?

Matanya memandang kedepan. “Kamu kenapa jauhin aku?”

Apa katanya?

“Aku nunggu kamu”

Aku tidak salah dengar, kan?

“Kamu gak pernah kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya”

Aku tersenyum tipis. “Kamu sendiri yang bilang kita lebih nyaman temenan”

“Tapi kamulah yang memutus pertemanan kita”

“Karena aku gak mau buat kamu gak nyaman”

“Siapa bilang aku gak nyaman?”

“Karena kita gak akan sama setelah aku nyatain cinta ke kamu, Fy” Ify mendelik kearahku. Aku menghela nafas lagi. “Lagipula aku milih mundur sejak kamu punya pacar”

“Pacar??”

Aku menoleh kearahnya. Herannya ia tampak keheranan. “Iya, pacar. Kata Irva kamu jadian sama temen sekelas kamu dulu”

“…. Aku belum pernah pacaran sama siapapun, sampai sekarang”

“…..”

“Lalu kamu dan Saras, itu apa?”

Mendadak aku kehabisan kata-kata. Tak mungkin aku jelaskan bahwa aku berpacaran dengan Saras hanya untuk melupakan Ify.

“Aku bakal percaya kalau kamu udah bisa move on”

Aku menggeleng cepat. Tapi tak ada kata yang terlepas dari bibirku.

“Aku pernah menyukai. Kami ada di dalam satu ajang pencarian bakat. Dia finalist dari kota yang jauh disana. Dia teman yang baik, dia memberi aura positif di sekitarnya” kusunggingkan senyuman tipis. Eh, memang itu aku ya?

“Aku belum pernah merasakan yang seperti itu sampai sekarang. Perasaan itu masih, sampai saat ini” dia menyampingkan tubuhnya, menatap kearahku. “Dia juga memiliki perasaan yang sama, dulu”

Sungguh, aku merasa dadaku akan meledak saking bahagianya. Seperti ratusan kupu-kupu berterbangan di perutku kala aku rasakan tangannya meraih tanganku. “Sayang aku dan dia gak bisa bersama”


“….. kenapa?”

“Kita berbeda. Kamu tau pasti apa maksudku. Kita sama-sama berpegang teguh dengan apa yang kita yakini saat ini. Aku bener, kan?”

Aku terdiam lagi. Sekarang aku tau alasannya ia menolakku dulu. Tapi aku membenarkan apa yang ia katakan barusan. Kami memang berbeda.

“Kita tetap teman, kan?”

Aku menatapnya lama. Kuberanikan diri mengecup keningnya. “Ya, kita teman”

Ia tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya yang lain, mengajakku bersalaman. “Aku Ify. Salam kenal”

Tanpa bisa dicegah aku pun turut tersenyum dan menyambut uluran tangannya.

“Gabriel..”

-END-







Tidak ada komentar:

Posting Komentar