“Kamu mau jadi pacarku?”
Aku menatap cemas gadis di
hadapanku. Gadis yang sekian lama aku sukai. Gadis yang merupakan cinta
pertamaku. Gadis yang membuat hatiku berbunga-bunga hanya dengan mendengar
namanya. Gadis yang membuatku berlatih pengakuan hati di depan cermin.
Dialah Ify.
Gadis manis itu mengangkat
wajahnya yang sedari tadi menunduk. “Maaf. Aku nyaman kita temenan”
*
Paduan suara vokal indah yang
berasal dari finalist dan ex-finalist memenuhi panggung yang akan dijadikan
tempat penyelenggaraan Grand Final ajang itu. Saat ini mereka sedang berlatih
lagu Buka Hatimu kepunyaan Armada. Yang
difokuskan dua grand finalist (Mario & Halilintar) sebagai vokal utama,
sedangkan yang lain hanya back-up vokal.
Aku masih menangkap bayangannya
dari ekor mataku. Kebetulan di lagu ini aku mendapat tempat di sisi kiri
panggung, bersama dengan rekanku yang lain, Shilla. Dan tentunya, Ify.
*
“Aku Ify, dari Bandung”
Aku
tak pernah melupakan senyum manisnya. Kala itu aku masih berumur 10 tahun. Ia
satu tahun lebih tua dariku. Kami dipertemukan dalam ajang ini, ajang pencarian
bakat penyanyi anak-anak. Aku berasal jauh dari Batam. Tujuanku mengikuti ajang
ini adalah untuk membahagiakan kedua orangtua dan adik semata wayangku.
Sejak bertemu dengannya, aku tahu
aku memiliki tujuan lain.
*
“Nanti kamu jangan lupa senyum ya
sayang”
“Iya, Mah”
“Harus kelihatan ramah di depan
kamera, inget, muka kamu kalo lagi diem itu keliatan jutek banget”
“Iya, Mama sayang, Ify ngerti”
Aku
tak bisa menahan senyumku. Dari tempatku sekarang, aku bisa melihatnya berdiri
dengan wajah ditekuk. Tante Gina-mamanya- masih setia di posisinya sembari
memberikan wejangan-wejangan kepada putrinya. Yang tentu saja direspon seadanya
oleh Ify.
Saat
ini kami berada di program musik di salah satu stasiun TV. Aku, dan
teman-temanku yang tergabung dalam band project – SI Band- sedang menunggu
waktu untuk tampil. Kebetulan, ia juga ikut dalam project ini. Menjadi
keyboardist.
Kebetulan yang indah, bukan?
Jadi
walaupun ajang itu sudah berakhir, aku masih mempunyai kesempatan untuk
memiliki hari bersamanya.
Walaupun sebagai teman.
*
Aku berjalan tergesa menuju kamar
mandi. Kuabaikan panggilan Debo, rekanku yang mengatakan kalau beberapa menit
lagi kami tampil. Tapi aku tidak peduli. Aku menulikan telingaku. Aku ingin
sendiri dulu.
Aku
tidak mau ada yang melihat ekspresi marahku
.
Selama
ini aku dikenal sebagai sosok yang ramah dan ceria.
Dia,
hanya dia yang mampu membuatku mengeluarkan ekspresi ini.
Aku
tak mendengarnya pacaran dengan lelaki lain, atau melihatnya berdua dengan
seseorang. Sepele saja sebenarnya, jadi saat Band kami tampil, salah satu teman
dekatku, Alvin bernyanyi sambil mendekatinya dan merangkulnya. Aku tak tau itu
sengaja atau tidak. Tapi.. uh.. itu mungkin masuk dalam daftar hal yang tidak
ingin aku lihat sepanjang hidupku.
*
Kontrak kami dengan stasiun TV tersebut
berakhir tahun ini. Itu artinya akan jarang sekali event-event yang
mempetemukan kami.
Dengan tingkat pertemuan yang tak
sesering dulu, aku mulai menata hatiku. Menjadi sosok yang baru. Menjadi
pribadi seperti saat sebelum aku bertemu dengannya.
Aku ingin melupakannya. Jika ia
lebih nyaman menganggapku sebagai teman, mengapa tidak demikian denganku?
*
Tak kusangka akan sesulit ini
menghapusnya. Aku berhenti mengirimkannya pesan-pesan singkat semenjak ia
menolakku. Tepatnya sekitar 3 tahun yang lalu. Sejak itu terbangunlah dinding
tak terlihat diantara kami, walau percayalah aku ingin sekali meruntuhkan
dinding itu.
“Kamu
sebagai Mahar, ya?” aku menerima naskah drama musikal itu, dan mulai
membacanya. Bertemu teman-teman baru membuatku sedikit melupakannya. Terlebih
ada Shilla dan Patton, rekan seperjuanganku dalam ajang itu yang ikut andil
dalam drama musikal ini.
Aku berlatih dengan giat agar sosok
Mahar dapat kuperankan dengan baik. Aku mendapatkan banyak pujian, yang
kuterima dengan senang hati. Ah.. lingkungan baru ini benar-benar membuatku
nyaman.
Sebetulnya
ada salah satu dari mereka yang menarik perhatianku. Pemeran Aling. Dia begitu
manis dan sopan. Senyumnya mengingatkanku pada…
“Serius
nanti lo kesini, Fy? Sama Via? Terus...? ah Zahra? Sama Ray juga? Asik. Oke gue
tunggu. Bye” aku menegang kala mendengar Shilla menyebut namanya. Apa tadi
katanya? Mereka akan kesini? Menonton kami?
Kuselesaikan
kalimat terakhir kami sebelum ditutup dengan salam hormat dari seluruh pemain.
Dari tempatku berdiri, mataku masih berusaha menyisir bangku penonton, berharap
menemukannya. Ah, aku melihat Sivia. Itu artinya ia tak jauh darinya. Sivia,
Zahra, Ray, dan.. itu dia! Dia juga sedang melihat kearahku. Aku tak bisa
menahan untuk tak tersenyum. Ia pun melempar senyum padaku.
Hari
keberuntunganku, eh?
*
“Dia.. jadian sama temen sekolahnya.
Namanya….” Mataku yang semula menahan kantuk kini terbuka lebar. Memang sudah
menjadi rutinitas kami –para alumni ajang tersebut- untuk ngobrol di grup
Yahoo! Messanger setiap Rabu dan Jumat malam-untuk menjaga silahturahmi-.
Semula aku ingin istirahat saja karena terlalu lelah dengan kesibukan sekolah.
Tapi karena bujukan teman-temanku akhirnya aku rela online dan melupakan
lelahku.
Obrolan
kami rata-rata selalu sama. Kabar bagaimana, sibuk apa, sudah punya pacar atau
belum. (Yang mana pertanyaan terakhir aku berharap tak ada kabar darinya).
Harusnya
aku tau ini akan menjadi salah satu hari burukku. Pertama karena aku sedang
tidak mood untuk online (biasanya aku salah satu yang paling bersemangat).
Kedua, karena kulihat ia tidak online (banyak sih yang offline. Seperti Sivia,
Shilla, Cakka, Oik, lalu ada beberapa lagi). Dan ketiga, saat salah satu
temanku Irva mengetikkan pesan yang tak ingin aku lihat seumur hidup.
Ify.
Punya. Pacar.
*
“Ciee..pajak
jadiannya ditunggu”
“Longlast
ya”
“Cocok
banget tau kalian”
“Ehm..ehm
lo udah gede ternyata”
Aku merespon semuanya dengan
senyuman. Kuanggap kalimat mereka sebagai doa. Ya, doa semoga aku dengan Saras
awet sehingga aku bisa melupakannya. Semoga aku juga bahagia selepas mendengar
berita ia memiliki pacar. Semoga aku bisa menghapus perasaanku.
Aku tidak bermaksud jahat pada
Saras, tapi tak apa kan ‘kugunakan’ dirinya untuk melupakannya?
*
Saat detik berganti menit.
Saat menit berganti jam.
Saat jam berganti hari. Begitu pula
dengan hari yang berganti bulan dan bulan menjadi tahun. Kulalui hari-hariku
dengan kesibukan sekolah dan pekerjaan. Kufokuskan waktuku bersama keluargaku.
Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang. Tanpa kekasih, walaupun ia tetap
menjadi kekasih hatiku.
Aku
sudah lama memutuskan hubunganku dengan Saras. Lalu menjalin hubungan dengan
beberapa perempuan. Catat, aku bukan playboy.
Sementara
dirinya, ia masih dengan rutinitas favoritnya. Menjadi pemusik. Bergabung dalam
sebuah girlband membuatmu semakin mudah ‘melihatnya’.
*
“Mau ada reunian nih, dateng ya!”
Sender : Dayat
Aku letakkan ponselku diatas kasur.
Hmm reuni. Itu artinya aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi,
setelah sekian lama. Kini usiaku sudah 25 tahun. Dan sudah menjadi pengacara
muda di Jakarta.
Tak
ada yang berubah dariku, termasuk perasaanku kepadanya.
*
Aku memasuki café yang menjadi
tempat kami mengadakan reuni. Kulemparkan senyumku kearah beberapa teman yang
sudah datang. Dayat, sang pengusung reuni. Ada juga Septian –yang datang
bersama kekasihnya-, lalu ada Osa, Iyan –hey dia tinggi sekali-, Irva –dengan kekasihnya
juga-, Zahra, yang sepertinya sedang tergesa-gesa menuju toilet. Di sisi lain
meja ada beberapa ex finalist dari ajang musim kedua dan ketiga, Debo, Patton,
Gita, Irsyad, Bastian, Cakka –dengan rambut gondrongnya-, juga Rio, Keke dan
beberapa yang lain –ada yang bahkan aku lupa siapa namanya-.
Dari
sekian banyak yang datang, aku menghela kecewa. Tentu saja dia tidak datang. Dia
kan sibuk, punya segudang schedule yang lebih penting daripada menghadiri acara
reuni yang—
“Hey”
Refleks
aku menoleh.
“Oh.. hai…” balasku canggung. Tenggorokanku
mendadak kering. Ify berdiri di belakangku dengan baju casual –yang menurutku
sangat cocok untuknya- dan bandana putih manis. Ah dia cantik sekali.
“Udah
lama?”
Aku
menggeleng. “Baru aja”
“Banyak
juga yang dateng” ucapnya sembari melihat sekeliling. Dan melempar senyum ke
beberapa teman kami. “Aku kesana dulu ya”
Aku
menatapnya melenggang kearah meja Zahra. Meja dengan kapasitas 5 orang itu
sudah terisi Zahra, Patton, Dayat, ditambah Ify…berarti masih bisa 1 orang
lagi?
“Eh eh itu buat Irva” sela Zahra
saat aku duduk di salah satu kursi. “Yaelah.. Irva kan sama pacarnya. Mana muat
mereka duduk di satu kursi” elakku. Kudengar tawa kecil lolos dari bibirnya. Aku
ikut tersenyum kearahnya.
“Ih,
ya udah”
Sepanjang acara –yang kebanyakan
permainan- mataku tak pernah lepas dari sosoknya. Beberapa dari kami
menyumbangkan lagi, termasuk aku. Bahkan aku mendapat kesempatan berduet
dengannya karena usulan Shilla –thanks, Shill!-.
Sering-sering saja diadakan
reunian seperti ini, hahaha!
*
Acara reuni selesai pukul 21.45
malam. Lebih malam dari jadwal perkiraaan yang semula direncanakan selesai jam
20.00. Sebagian teman-teman sudah pulang. Hanya tinggal aku, Rio, Zevana, Angel
dan Ify. Aku memang sengaja belum pulang sebelum ia pulang.
Kusandarkan punggungku di salah
satu kursi café. Kulihat ia tengah berbincang berdua dengan Rio diiringi
beberapa tawa yang keluar dari bibir tipisnya. Mendadak bayangan
fanfiction-fanfiction Rio-Ify yang dibuat fans kami dulu muncul di otakku. Aku memang
beberapa kali membaca cerita fiksi karangan mereka (yang mana kebanyakan aku
membaca cerita ku dan dia tentunya). Tak kusangka fans kami kreatif sekali.
“Duluan
ya, Fy. Yuk, Ze” Rio menyudahi obrolannya. Lalu pamit kepadaku dan Angel juga
sebelum pergi keluar café bersama Zevana.
“Eh
gue udah dijemput. Lo gak mau ikut gue, Fy?” ajak Angel. Ify gelengkan
kepalanya. “Nggak, sopir gue udah dijalan. Hati-hati, Ngel”
Angel mengangguk dan berpamitan
padaku juga. “Gue nitip Ify yaa. Byee”
Yah, tanpa dimintapun aku akan
menjaganya sepenuh hatiku.
*
“Maaf,
kami mau tutup” tegus halus salah satu karyawan café. Memang ini sudah hampir
jam 22.00. Dan hanya tinggal aku dan Ify. Aku menatapnya yang duduk di meja tak
jauh dari posisiku, mengisyaratkannya untuk pindah keluar. Ia mengangguk.
Ironis
ya, walau tinggal kami berdua pun, ia masih menjaga jarak.
Aku
mengiringinya keluar café. Diluar mendadak hujan deras sekali. Yang merupakan
keberuntungan bagiku karena itu menahanku untuk bersamanya walau hanya
sebentar.
“Tinggal
pulang aja pakai hujan” ucapnya seraya merapatkan scraftnya. Terbawa sinetron,
kulepaskan jaketku dan kuletakkan di pundaknya. “Eh gak usah”
Kulemparkan
senyumku.
Hening.
Kami sama-sama hanya diam berdiri di depan café yang sudah tutup sembari
menatap hujan.
“Sopirku
lagi cuti”
Eh?
Aku menoleh kearahnya. Bukankah tadi dia bilang kalau supirnya sedang di jalan?
Matanya
memandang kedepan. “Kamu kenapa jauhin aku?”
Apa
katanya?
“Aku
nunggu kamu”
Aku
tidak salah dengar, kan?
“Kamu
gak pernah kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya”
Aku
tersenyum tipis. “Kamu sendiri yang bilang kita lebih nyaman temenan”
“Tapi
kamulah yang memutus pertemanan kita”
“Karena
aku gak mau buat kamu gak nyaman”
“Siapa
bilang aku gak nyaman?”
“Karena
kita gak akan sama setelah aku nyatain cinta ke kamu, Fy” Ify mendelik
kearahku. Aku menghela nafas lagi. “Lagipula aku milih mundur sejak kamu punya
pacar”
“Pacar??”
Aku
menoleh kearahnya. Herannya ia tampak keheranan. “Iya, pacar. Kata Irva kamu
jadian sama temen sekelas kamu dulu”
“….
Aku belum pernah pacaran sama siapapun, sampai sekarang”
“…..”
“Lalu kamu dan Saras, itu apa?”
Mendadak aku kehabisan kata-kata.
Tak mungkin aku jelaskan bahwa aku berpacaran dengan Saras hanya untuk
melupakan Ify.
“Aku bakal percaya kalau kamu
udah bisa move on”
Aku menggeleng cepat. Tapi tak
ada kata yang terlepas dari bibirku.
“Aku pernah menyukai. Kami ada di
dalam satu ajang pencarian bakat. Dia finalist dari kota yang jauh disana. Dia teman
yang baik, dia memberi aura positif di sekitarnya” kusunggingkan senyuman
tipis. Eh, memang itu aku ya?
“Aku belum pernah merasakan yang
seperti itu sampai sekarang. Perasaan itu masih, sampai saat ini” dia
menyampingkan tubuhnya, menatap kearahku. “Dia juga memiliki perasaan yang
sama, dulu”
Sungguh,
aku merasa dadaku akan meledak saking bahagianya. Seperti ratusan kupu-kupu
berterbangan di perutku kala aku rasakan tangannya meraih tanganku. “Sayang aku
dan dia gak bisa bersama”
“…..
kenapa?”
“Kita
berbeda. Kamu tau pasti apa maksudku. Kita sama-sama berpegang teguh dengan apa
yang kita yakini saat ini. Aku bener, kan?”
Aku
terdiam lagi. Sekarang aku tau alasannya ia menolakku dulu. Tapi aku
membenarkan apa yang ia katakan barusan. Kami memang berbeda.
“Kita
tetap teman, kan?”
Aku
menatapnya lama. Kuberanikan diri mengecup keningnya. “Ya, kita teman”
Ia
tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya yang lain, mengajakku bersalaman. “Aku
Ify. Salam kenal”
Tanpa
bisa dicegah aku pun turut tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
“Gabriel..”
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar