Kamis, 15 September 2016

1943 Bersamanya

Juli  2015
                Aku masih melihatnya di posisi yang sama. Duduk di kursi roda kesayangannya sembari memandang keluar jendela. Entah apa yang menarik perhatiannya disana. Rumah kami terletak di pinggiran kota yang tidak terlalu bising. Rumah bercat putih berlantai 2 yang cukup luas. Mereka membelinya sekitar setengah abad yang lalu. Aku setuju apabila ada yang mengatakan rumah ini mengerikan. Lantai kayu dimana ada beberapa titik yang akan berderit apabila diinjak. Sisi kanan-kiri rumah yang tak terdapat satupun tetangga –tetangga terdekat kami jaraknya sekitar 5 km-. Di samping rumah terdapat tanah lapang yang cukup luas, yang 30 tahun belakangan menjadi media untuk menuangkan hobinya yaitu bercocok tanam.

                Ia tak pernah berubah. Tak ada yang berubah darinya selain rambutnya yang memutih, keriput di wajahnya, dan kemampuan panca inderanya yang menurun. Hanya itu. Selebihnya ia tetap pribadi yang sama.

Ia tetap Ify yang sama.

                Pemilik hatinya pun masih sama.
*

September 1943

                Suara gemuruh itu kembali terdengar. Disusul dengan teriakan manusia lainnya. Teriakan yang terdiri dari teriakan ketakutan, semangat, amarah dan histeris melihat sanak saudaranya terbunuh.

Suara bom meriam barusan terdengar kuranglebih radius 30 km dari fasilitas pengobatan di kampung ini. Walau jauh, tapi suara dahsyat tersebut cukup mampu memberikan efek pause kepada siapapun yang mendengarnya, termasuk Ify. Gadis cantik itu masih terpaku beberapa menit setelahnya. Dan baru tersadar kala seorang wanita yang merupakan rekannya sesama relawan, menjatuhkan gelas minuman.

“Kamu ini…mengagetkanku” protes Ify. Gadis yang dimarahinya hanya tersenyum lebar. “Maaf. Kamu sudah selesai?”

“Belum. Aku akan pulang nanti.. sekitar 2 atau 3 jam lagi”

Zevana-sahabat gadis itu- mendelik. “Kamu yakin?” Ify mengangguk. “Kalau kamu mau pulang, pulang duluan saja. Disini masih banyak yang membutuhkanku”

“Huh kamu menyindirku?”

Gadis manis itu hanya terkekeh kecil.

“Ya sudah aku pulang dulu. Eh, tapi kamu yakin berani pulang sendiri?”

Ify menoleh. “Kalau aku jawab tidak, kamu mau disini dulu menemaniku?”

“…. Baiklah demi keselamatan sahabatku tercinta. Aku disini 2 atau 3 jam lagi”

Keduanya bertukar senyum.

*
“Fy, bagaimana tawaran orang tua kamu mengenai perjodohan kamu dengan…. Ah siapa itu namanya” Zevana membuka percakapan dengan maksud agar tidak ada kesunyian yang terlalu mencekam dalam perjalanan pulang mereka. Maklum, tempat ini merupakan kawasan pedesaan terpencil yang hampir tidak ada kendaraan (mobil hanya dipakai untuk keadaan darurat) jadi tentu saja mereka harus jalan kaki untuk kembali ke camp.

Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. “Raden siapa ya. Namanya panjang sekali.. yang aku hapal itu awalnya Raden, belakangnya Ningrat”

“Walah kamu keterlaluan, calon suami sendiri ndak hapal”

“Dia bukan calonku, Ze. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Aku masih ingin menolong mereka. Masih ingin bermain denganmu. Masih punya banyak mimpi”

“Mimpi? Fy, aku ingatkan ya. Kita hidup di jaman seperti ini. Daerah ini belum dijamah saja kita sudah untung. Lagipula memang usia seperti kita sudah dipandang mampu berkeluarga”
Seulas senyuman manis terpatri di bibir gadis itu. “Aku ingin seperti pahlawan wanita kita, Ibu Kartini. Aku belum mau menikah muda, aku ingin memperjuangkan mimpiku, aku ingin membahagiakan bapak dan ibu dulu. Aku—“

“Ssh..”

Ify tak melanjutkan kalimatnya karena ada suara misterius yang menginstrupsi-yang sepertinya berasal dari semak-semak-. Ia menatap horor karibnya. Zevana, yang ternyata juga mendengarnya-dilihat dari ekpresinya-. Keduanya diam tak berkutik.

“Aw! Ssh..”

“Fy…”

“Ze”  keduanya kompak mengisyaratkan untuk mengambil langkah seribu sebelum melihat penampakan aneh.

“Ck, bodoh sekali aku!”

Kedua sahabat itu kembali saling berpandangan. Suara misterius tadi kembali terdengar. Dan lebih terlihat ‘normal’. “Bukan hantu, Ze”

Zevana hanya mengedikkan bahu. Ify mengambil inisiatif mendekat ke TKP. “Heh kamu mau kemana?” yang tak dihiraukan Ify. Gadis itu tetap berjalan mengikuti suara yang mulai ia yakini sebagai suara manusia.

“Aw..”

Ify yakin tinggal selangkah lagi menuju si pemilik suara. Ia singkapkan daun entah apa untuk melihat makhluk apa itu.

Mata mereka bertemu.
Detik itu semesta meyakini bahwa ia-lah pemilik hati Ify.

*
“Jangan bergerak dulu. Luka robekmu lumayan. Nanti kalau dibawa bergerak, tidak akan kering” tukas Ify. Pemuda itu hanya diam. Menatapi sosok perempuan yang telah menemukannya di semak-semak tadi dalam keadaan terluka. Perempuan ini jugalah-bersama temannya- susah payah memapahnya ke fasilitas kesehatan terdekat.

“Ngomong-ngomong.. saya Lavender. Tapi biasa dipanggil Ify”

Tak ada permintaan jabat tangan. Karena si gadis mengucapkannya sembari membereskan sisa perban dan membuang kapas kotor. Membuat sang pemuda sedikit ragu untuk menjawab.

“Kalau kamu?”

“Saya belum terbiasa dengan perkenalan tanpa bersalaman” ucapnya tanpa memandang Ify. Sang gadis tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Lavender. Biasa dipanggil Ify. Kalau kamu?”

“Gabriel”

*

Agustus 2015
               
                Batuknya tak kunjung berhenti juga. Aku mengusap-usap punggungnya iba. Aku yakin ia sudah tidak betah tinggal. Tapi aku belum siap melepasnya. Aku belum siap menyambut kepergiannya. Bila pemilik hatinya masih sama, maka akupun demikian.

Ify masih menjadi pemilik hatiku.

*

Desember  1943
               
                Hari ini fasilitas kesehatan tengah kebanjiran pasien. Korban serangan sang penjajah membludak sehingga cukup menyibukkan para relawan. Tak terkecuali Ify dan Zevana.  Luka robek di dahi, luka bakar di lengan, luka memar di tangan, tulang kaki yang patah, dan masih banyak lagi luka fisik yang didapat para warga. Pasiennya pun beragam, dari para pemuda pemberontak, hingga ibu-ibu dan anak mereka yang tidak tahu apa-apa.

Miris sekali, ingin rasanya semua ini berakhir.

Baru sehabis makan malam suasana barak sudah lumayan sepi sehingga Ify dan Zevana bisa beristirahat.

“Hari ini luas biasaaa” keluh Zevana sembari menyelonjorkan kedua kakinya, dan memijatnya pelan. Berbeda dengan Zeva, sahabatnya malah tampak berseri-seri. “Ada yang bahagia ya.. baiklah, baiklah aku akan diam saja dan menyimpan keluhku untuk diriku sendiri”

Ify memandang Zevana geli. Sahabatnya sungguh lucu kalau sedang merajuk.

“Iya, sahabatku tercinta… ada yang bisa aku bantu?”

Yang ditanya hanya menggeleng. Zevana menatap Ify dengan tatapan menyelidik. “Kamu…nanti pulang dengannya?” Ify mengangguk. “Itu artinya aku pulang sendiri?”

“Kecuali kalau kamu mau pulang bersama Lintar. Bukankah dia mendeketimu? Jangan dipikir aku tidak tahu”

“Jangan menggodaku, Lavender”

“Siapa yang-“

“Lavender, ada yang mencarimu” potong seorang pria berkumis penjaga barak. Pak Gito namanya. Mengintrupsi obrolan kedua sahabat itu. “Siapa, Pak?”

Pak Gito memutar bola matanya. “Ya siapa lagi kalau bukan Gabriel”
*

“Tanganmu kenapa” tanya pemuda itu kala melihat jari kelingking gadisnya tergores suatu benda.

 Gadisnya? Ya.. sepertinya kata itu sudah cukup menggambarkan bagaimana hubungan mereka saat ini. Perkenalan singkat, percakapan yang menarik mereka satu-sama lain, membuat keduanya cocok dan memutuskan untuk menjalin ikatan tak kasat mata. Mengukuhkan satu sama lain untuk saling menjaga dan melengkapi.

                “Cuma tergores gunting” jawab Ify sembari tersenyum. Seakan mengatakan kalau itu bukanlah perkara besar yang patut dikhawatirkan. “Cuma luka kecil”

“Tapi harusnya kamu lebih berhati-hati”

“Iya, aku tahu. Aku tahu apa yang aku lakukan, Yel. Kamu sendiri? Harimu bagaimana?
Gabriel menghela nafas. “Biasa saja. Goldi tetap sibuk menyusun strategi, Dayat tetap dengan kegemarannya membuat bambu runcing, Riko tetap di bagian medis, Deb—“

“Ck! Bukan itu maksudku..”

Pemuda itu terkekeh. “Ya aku harus cerita apa lagi. Memang itu yang aku lakukan setiap hari. Rencananya minggu depan kami akan mencoba melakukan pengintaian. Ya semoga saja bisa membebaskan beberapa warga”

Ify turut menghela nafas. Peralihan dari penjajah barat ke penjajah Asia ternyata sama saja. Tak ada yang mengira kalau nasib negeri ini sama buruknya, atau bahkan lebih buruk?

Gabriel bukan tentara resmi milik negara. Ia termasuk dalam gerombolan pemuda pemberontak yang mengintai markas penjajah guna membebaskan warga yang disekap dan dipaksa kerja (jangan tanyakan kerja apa saja). Pertemuan pertamanya dengan Ify pun tak lepas dari cerita penjajah. Dimana saat ia dan teman-temannya sedang melakukan pengintaian, musuh menyadari dan mereka melemparkan bom meriam. Yang untungnya, hanya melukai kakinya. Hey, dia masih beruntung kan?
Masa-masa yang keras dan kelam. Seluruh keluarga Gabriel dibantai oleh penjajah terdahulu. Gabriel tidak peduli penjajah sudah berganti, sekali penjajah tetaplah sama. Maka ia bertekad untuk berlatih beladiri sekuat tenaganya. Hingga akhirnya bertemu dengan Goldi cs, yang juga pemuda pemberontak.

Kehadian Ify mengubah hidupnya. Bagai ruang hitam yang baru saja dipasangi lampu dengan watt tinggi, hidup Gabriel tak lagi segelap dulu.

“Setelah masa ini berakhir, aku janji kita akan bersama lebih lama”

Janji itu diucapkan oleh Gabriel, ditujukkan untuk Ify, disaksikan alam semesta, dan dicatat oleh Tuhan.

*
September 2015

                “Pa?”

Aku tersenyum menyambut kedatangan putri sulungku, Ashilla. Dibelakangnya kulihat Alvin, suaminya beserta putri bungsu mereka, Keke. “Kakek” gadis remaja itu berhambur memelukku, yang tentu saja, kubalas dengan erat.  “Hai, Pa” sapa menantuku yang kubalas dengan senyuman.

“Bagaimana kabar Raynald?” aku menanyai putra sulung Ashilla yang tengah bekerja di Amerika. “Baik. Bulan depan dia pulang. Raissa belum kesini, Pa?”

Aku menggeleng. Raissa adalah putri bungsuku. “Semalem dia telpon, masih di Kupang. Urusan bisnis Cakka belum selesai”

 “Tapi dia tau kan sebentar lagi ulang tahun mama?”

“Tentu tau, dia bilang paling lama lusa dia pulang”

Ashilla mencibir. “Terlalu setia disisi suaminya”

“Ash..”

“Aku mau lihat mama. Dia dikamarnya?”

Aku mengangguk.

*
Januari 1944

“BODOH! TOLOL! INI SEMUA SALAHKU!

   Sudah hampir setengah hari Gabriel tak hentinya memaki, menendang, sesekali menangis. Sementara gadisnya duduk tak jauh dari sana. Menatapi iba kearah kekasihnya. Sengaja Ify biarkan pemudanya melampiaskan semua amarahnya.

“Sudah marahnya?”

                Gabriel tak menjawab. Ia terduduk lemas sembari meremas kepalanya kasar. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan tangisnya. Walau sesungguhnya ia tak perlu. Ify menyentuh pundaknya pelan, yang entah mengapa justru memperkeras tangis laki-laki itu.

                “Aku bodoh! Seharusnya… aku… menjaga mereka” Ify tak pernah melihat Gabriel serapuh ini. Gabriel yang ia tahu adalah sosok yang positif, semangat dan tak pernah memperlihatkan kelemahannya di depan Ify sekalipun. Melihatnya seperti ini membuat hatinya sakit. Andai menyembuhkan luka hatinya semudah menyembuhkan luka akibat percikan bom.

“Bukan salah kamu, Yel. Iya memang kalian harus saling menjaga. Tapi ini diluar kapasitas kamu. Mereka akan dikenang sebagai pemuda yang pemberani. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, bersedih boleh. Tapi jangan berlarut-larut. Aku yakin teman-temanmu disana masih ingin melihatmu berjuang”

                Gabriel masih tak bergeming. Kejadian semalam terus menghantuinya. Pengintaiannya bersama pemuda lainnya, ternyata bisa disebut gagal. Salah satu dari mereka membocorkannya kepada tentara lawan-demi uang- sehingga pasukanpun dengan mudahnya diserang. Yang menyebabkan hampir seluruh dari mereka tewas ditempat. Hanya 3 dari mereka yang kembali dengan selamat. Tiga orang yang diantaranya merupakan Gabriel sendiri.
               
                Satu hal yang gadis itu takutkan adalah.. kematian teman-temannya makin memperkeras hati Gabriel.

*
                “Lagi ya, Ma? Masa Cuma dua suap..” bujuk Ashilla lembut. Ia sudah duduk hampir 3 jam didepan sang mama untuk menyuapinya sarapan. Segala bujuk rayu tak membuat Ify menelan lebih banyak makanan lagi. “Oke, Aku nyerah” lirihnya.

Ashilla menatap Ify sedih. Mamanya tak seperti dulu lagi. Begitu banyak perubahan. Ia merindukan masa-masa dulu. Masa yang sangat berharga, yang mustahil untuk kembali lagi. Sepanjang yang ia bisa ingat, mamanya adalah sosok yang keibuan, lemah lembut, cantik, pintar memasak, dan tentu saja menyayangi keluarganya. Ify selalu punya cara untuk menenangkan anggota keluarganya jika ada masalah. Kelihatan sempurna, huh?

Tidak juga, karena cinta Ify kepada keluarganya tidak sebesar cinta Ify pada suaminya. Jangan dikira Ashilla tak menyadarinya. Tatapan mata Ify tak pernah seteduh itu saat bersama papa. Ify memang tak pernah bersikap dingin pada papanya. Tapi Ify hanya menganggap papanya sebagai teman hidup. Hanya teman hidup. Sementara Ashilla tahu bahwa Ify adalah cahaya hidup papanya.

*
Maret 1944

                “Kamu betul-betul harus pergi?”

Ify tersenyum. “Kamu betul-betul tidak mau ikut?”

Gabriel menghela nafas. “Kamu tahu aku ada—“

“Pengintaian? Ya..ya..  tapi aku ingin kamu ikut, Yel. Ini kesempatan untukku memperkenalkan kamu ke kedua orangtuaku”

Gabriel tersenyum melihat gadisnya merajuk. Diraihnya kedua tangan Ify. “Iya, kan masih ada waktu. Setelah ini aku janji aku akan ikut”

“Janji?”

“Janji”

“Janji kamu akan baik-baik saja?”

Pemuda itu masih dengan senyumnya. “Janji, Fy”

*

“Rio”

“Lavender”

“Lavender? Nama yang unik”

Gadis itu tersenyum. “Panggil saja Ify”

“Baiklah, Ify”

Keduanya pun tersenyum.

*
                Pemuda itu hanya menyisakan senyuman ketika Ify masih tertawa sambil memegangi perutnya. “Nama kamu sepanjang itu sampai aku lupa.. aku hanya ingat Raden dan Ningratnya saja”

“Yah.. aku tidak bisa protes karena itu pemberian orangtuaku. Jadi aku persingkat saja menjadi Rio” tukasnya.

“Siapa tadi nama lengkapmu?”

“Ify, aku bahkan sudah mengulanginya 4x. Masih belum hapal juga?”

Yang ditanya hanya menggeleng. “Belum hihi”

“Raden Bagus Indrawan Bumi Aryodiningrat. Aku rasa tidak sepanjang itu. Coba siapa nama lengkapmu?”

“Hanya Respati Ayu Diah Raventi”

Rio mengangkat satu alisnya. “Mana ada Lavendernya?” Ify tersenyum. “Jadi dulu aku suka sekali bunga lavender. Jadi ibuku mulai memanggilku dengan sebutan lavender. Lalu karena aku kesulitan menyebut lavender, jadi entah bagaimana keluarlah panggilan Ify”

                “Ah, sedikit aneh”

                “Kamu yang aneh”

                “Kurasa aku lebih suka memanggilmu, Raven?”

                “Jangan suka mengubah nama orang, Rio”

                Rio terkekeh kecil. “Fy, kamu setuju dengan perjodohan ini?”

“……”

“Fy?”

“Maksud kamu?”

*
                Aku menghentikan kursi rodanya di halaman rumah kami.  Membiarkannya meniup udara segar. Kemarin malam putri bungsu kami datang bersama suaminya, Cakka. Yang kuharap berkumpulnya keluarga kami akan membawa perubahan untuknya.

Aku merindukan senyum di wajahnya. Aku rindu suaranya memanggil namaku. Aku merindukan masakannya. Ah aku rasa aku rindu semua yang ada padanya. Jika bisa aku memutar waktu, aku tak akan menerima perjodohan ini. Aku tak mau merampas cahaya hidupnya. Aku tak mau menjadi sosok antagonis yang menjadi pemisah mereka.

Pemisah?

Ya, aku lah yang memisahkan mereka. Rio. Rio yang dipandang sebagai pemuda baik dimata Ify. Aku yang menyuruh orang-orangku untuk memata-matai kegiatan Ify saat ia menjadi relawan. Tentu aku tahu hubungannya dengan Gabriel.

Akulah orang yang membayar salah satu teman Gabriel untuk memberitahu lokasi pengintaian mereka selanjutnya. Sayang sekali pemuda itu lolos…

Saat Ify menolak perjodohan kami dan kabur menemui Gabriel, pemuda itu tak pernah kembali. Tentu saja, dia tak akan kembali. Karena aku yang melenyapkannya…

Maafkan aku, Fy..
Maaf…

-END-



*
                “



               

               
               
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar