Juli 2015
Aku masih melihatnya di
posisi yang sama. Duduk di kursi roda kesayangannya sembari memandang keluar
jendela. Entah apa yang menarik perhatiannya disana. Rumah kami terletak di
pinggiran kota yang tidak terlalu bising. Rumah bercat putih berlantai 2 yang
cukup luas. Mereka membelinya sekitar setengah abad yang lalu. Aku setuju
apabila ada yang mengatakan rumah ini mengerikan. Lantai kayu dimana ada
beberapa titik yang akan berderit apabila diinjak. Sisi kanan-kiri rumah yang
tak terdapat satupun tetangga –tetangga terdekat kami jaraknya sekitar 5 km-.
Di samping rumah terdapat tanah lapang yang cukup luas, yang 30 tahun
belakangan menjadi media untuk menuangkan hobinya yaitu bercocok tanam.
Ia tak
pernah berubah. Tak ada yang berubah darinya selain rambutnya yang memutih,
keriput di wajahnya, dan kemampuan panca inderanya yang menurun. Hanya itu.
Selebihnya ia tetap pribadi yang sama.
Ia tetap Ify yang sama.
Pemilik
hatinya pun masih sama.
*
September 1943
Suara
gemuruh itu kembali terdengar. Disusul dengan teriakan manusia lainnya.
Teriakan yang terdiri dari teriakan ketakutan, semangat, amarah dan histeris
melihat sanak saudaranya terbunuh.
Suara bom meriam barusan terdengar kuranglebih radius 30 km
dari fasilitas pengobatan di kampung ini. Walau jauh, tapi suara dahsyat
tersebut cukup mampu memberikan efek pause
kepada siapapun yang mendengarnya, termasuk Ify. Gadis cantik itu masih
terpaku beberapa menit setelahnya. Dan baru tersadar kala seorang wanita yang
merupakan rekannya sesama relawan, menjatuhkan gelas minuman.
“Kamu ini…mengagetkanku” protes
Ify. Gadis yang dimarahinya hanya tersenyum lebar. “Maaf. Kamu sudah selesai?”
“Belum. Aku akan pulang nanti..
sekitar 2 atau 3 jam lagi”
Zevana-sahabat gadis itu- mendelik. “Kamu yakin?” Ify
mengangguk. “Kalau kamu mau pulang, pulang duluan saja. Disini masih banyak
yang membutuhkanku”
“Huh kamu menyindirku?”
Gadis manis itu hanya terkekeh
kecil.
“Ya sudah aku pulang dulu. Eh, tapi kamu yakin berani pulang
sendiri?”
Ify menoleh. “Kalau aku jawab tidak, kamu mau disini dulu
menemaniku?”
“…. Baiklah demi keselamatan
sahabatku tercinta. Aku disini 2 atau 3 jam lagi”
Keduanya bertukar senyum.
*
“Fy, bagaimana tawaran orang tua kamu mengenai perjodohan
kamu dengan…. Ah siapa itu namanya” Zevana membuka percakapan dengan maksud
agar tidak ada kesunyian yang terlalu mencekam dalam perjalanan pulang mereka.
Maklum, tempat ini merupakan kawasan pedesaan terpencil yang hampir tidak ada
kendaraan (mobil hanya dipakai untuk keadaan darurat) jadi tentu saja mereka
harus jalan kaki untuk kembali ke camp.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. “Raden siapa ya.
Namanya panjang sekali.. yang aku hapal itu awalnya Raden, belakangnya Ningrat”
“Walah kamu keterlaluan, calon
suami sendiri ndak hapal”
“Dia bukan calonku, Ze. Aku
bahkan belum pernah bertemu dengannya. Aku masih ingin menolong mereka. Masih ingin
bermain denganmu. Masih punya banyak mimpi”
“Mimpi? Fy, aku ingatkan ya. Kita
hidup di jaman seperti ini. Daerah ini belum dijamah saja kita sudah untung.
Lagipula memang usia seperti kita sudah dipandang mampu berkeluarga”
Seulas senyuman manis terpatri di bibir gadis itu. “Aku
ingin seperti pahlawan wanita kita, Ibu Kartini. Aku belum mau menikah muda,
aku ingin memperjuangkan mimpiku, aku ingin membahagiakan bapak dan ibu dulu.
Aku—“
“Ssh..”
Ify tak melanjutkan kalimatnya karena ada suara misterius
yang menginstrupsi-yang sepertinya berasal dari semak-semak-. Ia menatap horor
karibnya. Zevana, yang ternyata juga mendengarnya-dilihat dari ekpresinya-. Keduanya
diam tak berkutik.
“Aw! Ssh..”
“Fy…”
“Ze” keduanya kompak
mengisyaratkan untuk mengambil langkah seribu sebelum melihat penampakan aneh.
“Ck, bodoh sekali aku!”
Kedua sahabat itu kembali saling berpandangan. Suara
misterius tadi kembali terdengar. Dan lebih terlihat ‘normal’. “Bukan hantu,
Ze”
Zevana hanya mengedikkan bahu. Ify mengambil inisiatif
mendekat ke TKP. “Heh kamu mau kemana?” yang tak dihiraukan Ify. Gadis itu
tetap berjalan mengikuti suara yang mulai ia yakini sebagai suara manusia.
“Aw..”
Ify yakin tinggal selangkah lagi menuju si pemilik suara. Ia
singkapkan daun entah apa untuk melihat makhluk apa itu.
Mata mereka bertemu.
Detik itu semesta meyakini bahwa
ia-lah pemilik hati Ify.
*
“Jangan bergerak dulu. Luka robekmu lumayan. Nanti kalau
dibawa bergerak, tidak akan kering” tukas Ify. Pemuda itu hanya diam. Menatapi
sosok perempuan yang telah menemukannya di semak-semak tadi dalam keadaan
terluka. Perempuan ini jugalah-bersama temannya- susah payah memapahnya ke
fasilitas kesehatan terdekat.
“Ngomong-ngomong.. saya Lavender.
Tapi biasa dipanggil Ify”
Tak ada permintaan jabat tangan. Karena si gadis
mengucapkannya sembari membereskan sisa perban dan membuang kapas kotor.
Membuat sang pemuda sedikit ragu untuk menjawab.
“Kalau kamu?”
“Saya belum terbiasa dengan
perkenalan tanpa bersalaman” ucapnya tanpa memandang Ify. Sang gadis tersenyum,
lalu mengulurkan tangannya. “Saya Lavender. Biasa dipanggil Ify. Kalau kamu?”
“Gabriel”
*
Agustus 2015
Batuknya tak kunjung berhenti
juga. Aku mengusap-usap punggungnya iba. Aku yakin ia sudah tidak betah
tinggal. Tapi aku belum siap melepasnya. Aku belum siap menyambut kepergiannya.
Bila pemilik hatinya masih sama, maka akupun demikian.
Ify masih menjadi pemilik hatiku.
*
Desember 1943
Hari ini fasilitas kesehatan
tengah kebanjiran pasien. Korban serangan sang penjajah membludak sehingga
cukup menyibukkan para relawan. Tak terkecuali Ify dan Zevana. Luka robek di dahi, luka bakar di lengan,
luka memar di tangan, tulang kaki yang patah, dan masih banyak lagi luka fisik
yang didapat para warga. Pasiennya pun beragam, dari para pemuda pemberontak,
hingga ibu-ibu dan anak mereka yang tidak tahu apa-apa.
Miris sekali, ingin rasanya semua ini berakhir.
Baru sehabis makan malam suasana barak sudah lumayan sepi
sehingga Ify dan Zevana bisa beristirahat.
“Hari ini luas biasaaa” keluh Zevana sembari menyelonjorkan
kedua kakinya, dan memijatnya pelan. Berbeda dengan Zeva, sahabatnya malah
tampak berseri-seri. “Ada yang bahagia ya.. baiklah, baiklah aku akan diam saja
dan menyimpan keluhku untuk diriku sendiri”
Ify memandang Zevana geli.
Sahabatnya sungguh lucu kalau sedang merajuk.
“Iya, sahabatku tercinta… ada
yang bisa aku bantu?”
Yang ditanya hanya menggeleng. Zevana menatap Ify dengan
tatapan menyelidik. “Kamu…nanti pulang dengannya?” Ify mengangguk. “Itu artinya
aku pulang sendiri?”
“Kecuali kalau kamu mau pulang bersama Lintar. Bukankah dia
mendeketimu? Jangan dipikir aku tidak tahu”
“Jangan menggodaku, Lavender”
“Siapa yang-“
“Lavender, ada yang mencarimu” potong seorang pria berkumis
penjaga barak. Pak Gito namanya. Mengintrupsi obrolan kedua sahabat itu.
“Siapa, Pak?”
Pak Gito memutar bola matanya.
“Ya siapa lagi kalau bukan Gabriel”
*
“Tanganmu kenapa” tanya pemuda itu kala melihat jari
kelingking gadisnya tergores suatu benda.
Gadisnya? Ya.. sepertinya kata itu
sudah cukup menggambarkan bagaimana hubungan mereka saat ini. Perkenalan
singkat, percakapan yang menarik mereka satu-sama lain, membuat keduanya cocok
dan memutuskan untuk menjalin ikatan tak kasat mata. Mengukuhkan satu sama lain
untuk saling menjaga dan melengkapi.
“Cuma
tergores gunting” jawab Ify sembari tersenyum. Seakan mengatakan kalau itu
bukanlah perkara besar yang patut dikhawatirkan. “Cuma luka kecil”
“Tapi harusnya kamu lebih
berhati-hati”
“Iya, aku tahu. Aku tahu apa yang
aku lakukan, Yel. Kamu sendiri? Harimu bagaimana?
Gabriel menghela nafas. “Biasa saja. Goldi tetap sibuk
menyusun strategi, Dayat tetap dengan kegemarannya membuat bambu runcing, Riko
tetap di bagian medis, Deb—“
“Ck! Bukan itu maksudku..”
Pemuda itu terkekeh. “Ya aku harus cerita apa lagi. Memang
itu yang aku lakukan setiap hari. Rencananya minggu depan kami akan mencoba
melakukan pengintaian. Ya semoga saja bisa membebaskan beberapa warga”
Ify turut menghela nafas. Peralihan dari penjajah barat ke
penjajah Asia ternyata sama saja. Tak ada yang mengira kalau nasib negeri ini
sama buruknya, atau bahkan lebih buruk?
Gabriel bukan tentara resmi milik negara. Ia termasuk dalam
gerombolan pemuda pemberontak yang mengintai markas penjajah guna membebaskan
warga yang disekap dan dipaksa kerja (jangan tanyakan kerja apa saja). Pertemuan
pertamanya dengan Ify pun tak lepas dari cerita penjajah. Dimana saat ia dan
teman-temannya sedang melakukan pengintaian, musuh menyadari dan mereka
melemparkan bom meriam. Yang untungnya, hanya melukai kakinya. Hey, dia masih
beruntung kan?
Masa-masa yang keras dan kelam. Seluruh keluarga Gabriel
dibantai oleh penjajah terdahulu. Gabriel tidak peduli penjajah sudah berganti,
sekali penjajah tetaplah sama. Maka ia bertekad untuk berlatih beladiri sekuat
tenaganya. Hingga akhirnya bertemu dengan Goldi cs, yang juga pemuda
pemberontak.
Kehadian Ify mengubah hidupnya. Bagai ruang hitam yang baru
saja dipasangi lampu dengan watt tinggi, hidup Gabriel tak lagi segelap dulu.
“Setelah masa ini berakhir, aku janji kita akan bersama
lebih lama”
Janji itu diucapkan oleh Gabriel, ditujukkan untuk Ify,
disaksikan alam semesta, dan dicatat oleh Tuhan.
*
September 2015
“Pa?”
Aku tersenyum menyambut
kedatangan putri sulungku, Ashilla. Dibelakangnya kulihat Alvin, suaminya
beserta putri bungsu mereka, Keke. “Kakek” gadis remaja itu berhambur
memelukku, yang tentu saja, kubalas dengan erat. “Hai, Pa” sapa menantuku yang kubalas dengan
senyuman.
“Bagaimana kabar Raynald?” aku
menanyai putra sulung Ashilla yang tengah bekerja di Amerika. “Baik. Bulan
depan dia pulang. Raissa belum kesini, Pa?”
Aku menggeleng. Raissa adalah
putri bungsuku. “Semalem dia telpon, masih di Kupang. Urusan bisnis Cakka belum
selesai”
“Tapi dia tau kan
sebentar lagi ulang tahun mama?”
“Tentu tau, dia bilang paling lama lusa dia pulang”
Ashilla mencibir. “Terlalu setia disisi suaminya”
“Ash..”
“Aku mau lihat mama. Dia dikamarnya?”
Aku mengangguk.
*
Januari 1944
“BODOH! TOLOL! INI SEMUA SALAHKU!
Sudah hampir setengah hari Gabriel tak hentinya memaki,
menendang, sesekali menangis. Sementara gadisnya duduk tak jauh dari sana. Menatapi
iba kearah kekasihnya. Sengaja Ify biarkan pemudanya melampiaskan semua
amarahnya.
“Sudah marahnya?”
Gabriel tak menjawab. Ia terduduk
lemas sembari meremas kepalanya kasar. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan
tangisnya. Walau sesungguhnya ia tak perlu. Ify menyentuh pundaknya pelan, yang
entah mengapa justru memperkeras tangis laki-laki itu.
“Aku
bodoh! Seharusnya… aku… menjaga mereka” Ify tak pernah melihat Gabriel serapuh
ini. Gabriel yang ia tahu adalah sosok yang positif, semangat dan tak pernah
memperlihatkan kelemahannya di depan Ify sekalipun. Melihatnya seperti ini
membuat hatinya sakit. Andai menyembuhkan luka hatinya semudah menyembuhkan
luka akibat percikan bom.
“Bukan salah kamu, Yel. Iya
memang kalian harus saling menjaga. Tapi ini diluar kapasitas kamu. Mereka akan
dikenang sebagai pemuda yang pemberani. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri,
bersedih boleh. Tapi jangan berlarut-larut. Aku yakin teman-temanmu disana
masih ingin melihatmu berjuang”
Gabriel
masih tak bergeming. Kejadian semalam terus menghantuinya. Pengintaiannya
bersama pemuda lainnya, ternyata bisa disebut gagal. Salah satu dari mereka
membocorkannya kepada tentara lawan-demi uang- sehingga pasukanpun dengan
mudahnya diserang. Yang menyebabkan hampir seluruh dari mereka tewas ditempat.
Hanya 3 dari mereka yang kembali dengan selamat. Tiga orang yang diantaranya
merupakan Gabriel sendiri.
Satu
hal yang gadis itu takutkan adalah.. kematian teman-temannya makin memperkeras
hati Gabriel.
*
“Lagi
ya, Ma? Masa Cuma dua suap..” bujuk Ashilla lembut. Ia sudah duduk hampir 3 jam
didepan sang mama untuk menyuapinya sarapan. Segala bujuk rayu tak membuat Ify
menelan lebih banyak makanan lagi. “Oke, Aku nyerah” lirihnya.
Ashilla menatap Ify sedih. Mamanya tak seperti dulu lagi.
Begitu banyak perubahan. Ia merindukan masa-masa dulu. Masa yang sangat
berharga, yang mustahil untuk kembali lagi. Sepanjang yang ia bisa ingat,
mamanya adalah sosok yang keibuan, lemah lembut, cantik, pintar memasak, dan
tentu saja menyayangi keluarganya. Ify selalu punya cara untuk menenangkan
anggota keluarganya jika ada masalah. Kelihatan sempurna, huh?
Tidak juga, karena cinta Ify kepada keluarganya tidak
sebesar cinta Ify pada suaminya. Jangan dikira Ashilla tak menyadarinya. Tatapan
mata Ify tak pernah seteduh itu saat bersama papa. Ify memang tak pernah
bersikap dingin pada papanya. Tapi Ify hanya menganggap papanya sebagai teman
hidup. Hanya teman hidup. Sementara Ashilla tahu bahwa Ify adalah cahaya hidup
papanya.
*
Maret 1944
“Kamu
betul-betul harus pergi?”
Ify tersenyum. “Kamu betul-betul tidak mau ikut?”
Gabriel menghela nafas. “Kamu tahu
aku ada—“
“Pengintaian? Ya..ya.. tapi aku ingin kamu ikut, Yel. Ini kesempatan
untukku memperkenalkan kamu ke kedua orangtuaku”
Gabriel tersenyum melihat gadisnya merajuk. Diraihnya kedua
tangan Ify. “Iya, kan masih ada waktu. Setelah ini aku janji aku akan ikut”
“Janji?”
“Janji”
“Janji kamu akan baik-baik saja?”
Pemuda itu masih dengan senyumnya. “Janji, Fy”
*
“Rio”
“Lavender”
“Lavender? Nama yang unik”
Gadis itu tersenyum. “Panggil saja Ify”
“Baiklah, Ify”
Keduanya pun tersenyum.
*
Pemuda
itu hanya menyisakan senyuman ketika Ify masih tertawa sambil memegangi
perutnya. “Nama kamu sepanjang itu sampai aku lupa.. aku hanya ingat Raden dan
Ningratnya saja”
“Yah.. aku tidak bisa protes karena itu pemberian
orangtuaku. Jadi aku persingkat saja menjadi Rio” tukasnya.
“Siapa tadi nama lengkapmu?”
“Ify, aku bahkan sudah mengulanginya 4x. Masih belum hapal
juga?”
Yang ditanya hanya menggeleng. “Belum hihi”
“Raden Bagus Indrawan Bumi Aryodiningrat. Aku rasa tidak
sepanjang itu. Coba siapa nama lengkapmu?”
“Hanya Respati Ayu Diah Raventi”
Rio mengangkat satu alisnya. “Mana ada Lavendernya?” Ify
tersenyum. “Jadi dulu aku suka sekali bunga lavender. Jadi ibuku mulai
memanggilku dengan sebutan lavender. Lalu karena aku kesulitan menyebut
lavender, jadi entah bagaimana keluarlah panggilan Ify”
“Ah,
sedikit aneh”
“Kamu
yang aneh”
“Kurasa
aku lebih suka memanggilmu, Raven?”
“Jangan
suka mengubah nama orang, Rio”
Rio
terkekeh kecil. “Fy, kamu setuju dengan perjodohan ini?”
“……”
“Fy?”
“Maksud kamu?”
*
Aku menghentikan kursi
rodanya di halaman rumah kami. Membiarkannya
meniup udara segar. Kemarin malam putri bungsu kami datang bersama suaminya,
Cakka. Yang kuharap berkumpulnya keluarga kami akan membawa perubahan untuknya.
Aku merindukan senyum di wajahnya. Aku rindu suaranya
memanggil namaku. Aku merindukan masakannya. Ah aku rasa aku rindu semua yang
ada padanya. Jika bisa aku memutar waktu, aku tak akan menerima perjodohan ini.
Aku tak mau merampas cahaya hidupnya. Aku tak mau menjadi sosok antagonis yang
menjadi pemisah mereka.
Pemisah?
Ya, aku lah yang memisahkan mereka. Rio. Rio yang dipandang
sebagai pemuda baik dimata Ify. Aku yang menyuruh orang-orangku untuk
memata-matai kegiatan Ify saat ia menjadi relawan. Tentu aku tahu hubungannya
dengan Gabriel.
Akulah orang yang membayar salah satu teman Gabriel untuk
memberitahu lokasi pengintaian mereka selanjutnya. Sayang sekali pemuda itu
lolos…
Saat Ify menolak perjodohan kami dan kabur menemui Gabriel,
pemuda itu tak pernah kembali. Tentu saja, dia tak akan kembali. Karena aku yang melenyapkannya…
Maafkan aku, Fy..
Maaf…
-END-
*
“